KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah Nya,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik tanpa ada masalah.
Sholawat serta slam senantiasa selalu tercurahkan kepada nabi junjungan ummat
nabiyullah Muhammad SAW yang telah membawa risalah kepada kita sebagai ummatnya
dengan membimbing dari zaman yang gelap menuju dalam zaman yang cerah.
Selaku penulis menngucapkan terima kasih kepada
beliau bapak Abdul Malik Usman selaku dosen pengampu mata kuliah Pemikiran
Modern Dalam Islam yang telah memberikan bimbingan dalam proses pembuatan
makalah ini dari awal sampai selesai makalah ini.
Kami sadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan dan masih banyakakan kekurangan. Maka dari itu, kepada seluruh
pembaca yang budiman diharapkan akan kritik dan saran untuk makalah ini agar
nantinya pada masa yang akan datang menjadi lebih baik dari makalah saat
ini.Akhirnya, dengan senantiasa memohon ridho Allah SWT dan saya awali dengan
bismillah, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan membawa kemaslahatan bagi
seluruh ummat, amin y.r.a. Wallahu a’lam.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A.
Latar Belakang................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C.
Tujuan................................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................................. 2
A. Biografi Muhammad Abduh............................................................. 2
B. Konsep Ijtihad..................................................................................... 3
C. Ide Pemikiran Modernisasi dan Pendidikan................................... 8
D. Sumbangan Pemikiran Terhadap Indonesia................................... 9
BAB III
PENUTUP...................................................................................................... 11
A. Kesimpulan......................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Muhammad Abduh
Adalah seorang cendekiawan muslim, pendidik, dan salah satu tokoh pembaharu islam
dari negeri Mesir. Keinginannya yang paling besar adalah memperbaharui
pendidikan islam yang menurutnya bahwa dengan pendidikan maka bisa merubah
pemikiran dan menjadikan pemikirannya menjadi lebih baik.
Dalam
pemikirannya ada dari kalangan yang menyetujui dan ada juga yang tidak. Menurut
kalangan yang menyetujuinya adalah bahwa pemikiran Abduh ingin memajukan umat
islam dan ingin menunjukkan bahwa islam itu adalah rasional sedangkan menurut
kalangan yang tidak menyetujuinya bahwa pemikiran Abduh bisa menyesatkan ummat
islam karena pemikirannya telah tercampur oleh faham mu’tazilah.
Namun dapat
disadari atau tidak, pemikiran Muhammad Abduh ini sangat mempengaruhi pemikiran
umat muslim saat ini termasuk cendekiawan muslim dari Indonesia juga tentunya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah riwayat kehidupan dari Muhammad Abduh ?
2.
Bagaimana konsep Ijtihad Menurut Muhammad Abduh ?
3.
Apa peranan modernisasi pendidikan ?
4.
Apa sumbangan Muhammad Abduh bagi dunia islam termasuk Indonesia ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pemikiran modern pendidikan yang diterapkan oleh
muhammad abduh
2.
Menambah wawasan bagi setiap orang yang membacanya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH
Muhammad Abduh (1849-1905)
dilahirkan didesa kecil dari keluarga miskin sebagaimana umumnya orang-orang
desa di Mesir. Ia melewati masa kecilnya dalam keadaan yang tidak terlalu
menyenangkan karena dilanda kemiskinan. Namun karena kuat iman dan percaya
bahwa kehidupan yang tidak menyenangkan di dunia ini akan mendapat gantinya di
akhirat kelak.[1]
Bapak Muhammad
Abduh bernama Abdul Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama
tinggal di Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang
silsilahnya sampai ke suku bangsa Umar Ibnu Al-Khattab. Abduh Hasan Khairullah
kawin dengan ibu Muhammad Abduh sewaktu merantau dari desa ke desa itu dan
ketika ia menetap di Mahallah Nasr, Muhammad Abduh masih dalam ayunan dan
gendongan ibu. Muhammad Abduh lahir dan menjadi dewasa dalam lingkungan desa di
bawah asuhan ibu bapa yang tak ada hubungannya dengan didikan sekolah, tetapi
mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.[2]
Ia masuk
madrasah didesanya lalu setelah itu ia memasuki Al-Azhar. Pada madrasah di
desa, ia belajar menghafal Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu adalah sumber pertama
dari Islam. Itu adalah tradisi belajar di Mesir. Adapun di Al-Azhar, Abduh
mempelajari tafsir Al-Qur’an dan Ilmu Fiqh, Ilmu Kalam dan Ilmu Ushul, dengan
segala macam alirannya. Juga di Al-Azhar itu ia mempelajari bahasa arab dengan
kaidah-kaidah nahwu dan sharaf-nya. Al-azhar dalam kajiannya
terhadap Al-Qur’an menekankan kepada pelbagai pendapat dalam periode akhir dari
pemikiran Islam.
Muhammad Abduh
bertemu dengan Syeikh Darwasy Khadr untuk belajar tentang Tarekat Sanusiah.
Lalu ia belajar filsafat Ibn Sina dan Logika Aristoteles dari Syeikh Hasan
Ath-Thawil. Di samping itu ia juga belajar kepada Syeikh Muhammad Al Basyuni
tentang Sastra Arab. Demikian juga bertemu dengan Jamaluddin Al Afghani sehingga
Abduh mulai sadar tentang politik dalam negeri Mesir.
Dengan itu maka
Muhammad Abduh terdorong untuk membangkitkan masa lalunya, sebagaimana ia ingin
hidup dalam dunia yang modern ini, hanya saja berdasarkan masa lalu dan dengan
cara yang modern sebagaimana yang ia alami.
B.
KONSEP IJTIHAD
Muhammad Abduh adalah seorang tokoh modernis dan pergerkan rakyat
mesir yang usahanya membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya guna menyesuaikan
islam dengan konsep modern. Adapun pemikiran-pemikiran Muhammad
Abduh dalam pembaharuan Islam adalah sebagaimana yang ia terangkan sendiri
mencakup dua hal besar.[3]
1.
Membebaskan pikiran dari ikatan taqlid, dan mengajak
memahami agama Islam dengan mengikuti ulama-ulama salaf sebelum
timbulnya perpecahan-perpecahan. Untuk itu maka umat Islam dalam usaha untuk
memahami ajaran Islam harus kembali kepada sumber-sumbernya yang pertama, yakni
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.
Adapun usaha yang kedua adalah memperbaiki Bahasa Arab. Ada lagi
satu hal yang di usahakan oleh Abduh, yaitu:
3.
Memperbaiki pergaulan hidup umat Islam khususnya Bangsa Mesir,
dengan menginsafkan pemerintahan dan rakyat tentang hak dan kewajiban.
Memang rakyat
Mesir harus mengetahui haknya terhadap Pemerintah. Pemerintah sekalipun ia
harus di taati adalah terdiri dari manusia yang bisa berbuat salah, bahkan
kadang-kadang tindakan-tindakannya di dorong oleh kepentingannya sendiri. Dan
sebenarnya pemerintah tidak akan memperbaiki kesalahannya dan tidak akan
menghentikan perbuatan-perbuatannya yang merugikan rakyat kecuali dengan
peringatan dari rakyat dengan perkataan dan perbuatan.[4]
Disini yang
akan dibicarakan adalah hanya pemikiran Abduh dalam bidang ijtihad. Ia
berpendapat bahwa terpecahnya masyarakat Islam menjadi banyak kelompok telah
sampai kepada tingkatan dimana umat Islam itu tidak bisa lagi menjadi jama’ah
yang satu. Hal itu disebabkan karena fanatiknya memegang sesuatu Mazhab, dan
memberikan kekuasaan yang begitu besar kepada salah satu pendapat atau
pengarang. Mereka tidak bisa melihat pendapat Mazhab-Mazhab yang lain dan tidak
berani mengkritik Mazhab yang di ikutinya. Dengan itu maka umat Islam yang
seharusnya satu itu menjadi pelbagai macam kelompok yang satu terpisah dari
yang lain dan sulit untuk mencapai satu tujuan.[5]
Selain itu
Muhammad Abduh juga menafsirkan hadis nabi sebagaimana dalam sabdanya yaitu
“Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, mereka
semua akan masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat.”
Lalu ada salah seorang sahabat yang tanya:”siapa golongan yang
satu itu?”
Nabi menjawab: “yaitu orang-orang yang mengikuti jejakku dan
sahabat-sahabatku.”
Menurut
Jalaluddin As-Shiddiqi memberikan komentar terhadap kitab Al Risalah Al
Adudiyah menyatakan bahwa kelompok yang selamat, yaitu kelompok yang
mengikuti jejak Nabi dan sahabat-sahabatnya, adalah pengikut Al-Asy’ari.
Sedangkan menurut Abduh bahwa yang jelas: Memang dikalangan umat Islam terdapat
banyak kelompok; dan yang selamat adalah hanya satu kelompok. Nabi menerangkan
bahwa yang selamat itu adalah yang mengikuti jejaknya dan sahabat-sahabatnya. [6]
Untuk hal itu Abduh menyatakan:
apakah belum waktunya kita kembali kepada sumber pokok yang dipegang oleh
ulama-ulama kita yang dulu itu. Kita pegang teguh sumber itu sebagaimana mereka
dulu memerangi, dan kita tinggalkan pertentangan-pertentangan yang ditimbulkan
oleh ulama-ulama setelah itu. Selanjutnya ia menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah
pangkal keselamatan umat Islam. Tidak ada cara lain untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan umat Islam kecuali kepada Al-Qur’an itu. Dengan itu maka
kesatuan umat Islam akan terpelihara dan akan tercapai.[7]
Selanjutnya ia menerangkan bahwa
sebab-sebab yang mengajak kepada ijtihad, ialah bahwa ijtihad itu adalah
hakikat hidup dan keharusan pergaulan manusia. Kehidupan manusia itu berproses
dan berkembang dan di situ terdapatlah kejadian-kejadian yang tidak diketahui
oleh orang-orang dahulu. Ijtihad merupakan alat ilmiah dan pandangan yang di
perlukan untuk menghampiri pelbagai segi kehidupan yang baru dan ajaran Islam.[8]
Bebarengan dengan panggilan untuk
ijtihad Muhammad Abduh juga membicarakan masalah Akidah. Dua hal pokok yang ia
singgung dalam hal ini:[9]
Pertama, membebaskan orang Islam dari paham jabariyah, yaitu bahwa
manusia tidak mempunyai kodrat sama sekali karena semua hal sudah ditentukan
oleh Allah, dan menganjurkan memegang kepada kepercayaan qadaar, yaitu
bahwa manusia itu mempunyai ikhtiar untuk berbuat baik ataupun buruk.
Kedua, memberikan pengertian kepada orang Islam bahwa akal manusia
merupakan nikmat dari Allah yang harus berjalan berdampingan dengan agama Allah
dan wahyu-Nya kepada manusia. Dan bahwa mengabaikan akal berarti buta terhadap
nikmat itu.
Ide Pembaharuan Tentang Peran wanita
Abduh merasa
perlu adanya pembaruan atas adat yang berkenaan dengan peranan dan kedudukan
wanita. Dia percaya bahwa hubungan suami-istri haruslah hubungan saling
menghormati dan saling memikirkan, agar dapat membesarkan generasi sehat yang
percaya diri dan tidak ketakutan terhadap orang asing. Dan ketahuilah bahwa
pria yang berupaya menindas wanita supaya dapat menjadi tuan di rumahnya sendiri, berarti menciptakan
generasi budak.[10]
Menanggapi
kritik barat bahwa Islam menindas kaum wanita, Abduh menegaskan bahwa dalam
Islam ada persamaan gender. Pria dan wanita punya hak dan kewajiban yang sama,
mereka juga memiliki nalar dan persamaan yang sama. Dia mengingatkan bahwa
Al-Qur’an berkata, pria punya derajat di atas wanita (QS. 2:228). Dia mencatat
bahwa perbedaan ini memang perlu, untuk menghindari fitnah. Karena keluarga
merupakan lembaga sosial, maka setiap unit sosial memerlukan pemimpin. Abduh
percaya, jika wanita memang punya kualitas pemimpin dan kualitas membuat keputusan,
maka keunggulan pria tak berlaku. [11]
Abduh
menanggapi tuduhan anti-Islam dari kritik Barat dalam membahas wanita. Tuduhan
itu ada yang menyangkut soal praktik poligami. Abduh merasa bahwa kalau praktik
poligami ada di awal Islam, maka itu tak boleh ada di dunia modern ini. Selama
periode formatif Islam, praktik ini besar manfaatnya, karena membantu membentuk
kelompok-kelompok keluarga baru dan menciptakan serta mempererat umat. Memang
Nabi dan sahabat itu sangat adil, namun ini mustahil bagi manusia lainnya.
Kendati syariat membolehkan beristri empat, jika memang mampu dan bisa adil,
namun dengan analisis akhirnya mustahil manusia biasa bisa berlaku adil,
seperti perlakuan yang sama dalam jumlah belanja, perumahan, pakaian, makanan,
dan pergaulan. Jika seseorang benar-benar memahami betapa sulitnya berlaku
sama, maka dia akan sadar bahwa mustahil untuk beristri lebih dari satu. Jika
pemahaman yang tepat mengenai perlakuan yang adil di anggap penting, maka tak
akan ada jalan untuk dapat berlaku adil.[12]
Isu lain yang
dikemukakan para pengkritik Islam adalah soal hijab wanita. Abduh percaya bahwa
adat hijab yang lazim itu bukanlah esensi islam, karena tidak ada nashnya,
yaitu teks Al-Qur’an mengenai hijab. Ini merupakan adat yang didapat kaum
muslim dari bangsa lain dan tak ada kaitannya dengan agama.[13]
Yang juga
menjadi sasaran pengkritik Islam adalah praktik mudahnya bercerai. untuk
memperbarui adat, Abduh menempatkannya dalam konteks yang lebih besar. dia
menafirkan sebuah ayat sebuah ayat Al-Qur’an (QS.2:230) yang mengatakan bahwa
Allah tidak menyukai perceraian. Dia memandang perceraian sebagai sesuatu yang
melibatkan seluruh umat, dan menuntut batasan masyarakat, bukan sekedar masalah
individu maupun keluarga.[14]
Tujuan dan manfaat ijtihad dalam
pemikiran Muhammad Abduh.
a.
Tujuan ijtihad dalam pemikiran Muhammad Abduh
Ø Agar dapat terurainya semua masalah
agama yang berhubungan dengan muamalah,
Ø Agar kekosongan ijtihad dapat
terisi, agar tidak ada pencarian hukum di luarr hukum syar’i,
Ø Agar hasil ijtihad Ulama’ terdahulu
dapat selalu sesuai dengan situasi dan kondisi masa ini,
Ø Terhindarnya taklid buta,
Ø Terhindar sifat fanatisme agama,
yang dapat menimbulkan perpecahan umat,
Ø Agar akal yang diberikan Allah tidak
sia sia
b.
Manfaat ijtihad dalam pemikiran Muhammad Abduh
Ø Ijtihad memberikan kebebasan kepada
akal,
Ø Ijtihad merupakan salah satu cara untuk
menyelesaikan masalah agama di zaman modern ini, dan
Ø Menjauhkan manusia dari perbuatan
taklid buta.
C.
IDE PEMIKIRAN MODERNISASI DAN PENDIDIKAN
Ide pemikiran
muhammad abduh pada bidang pendidikan bukan sekedar metode pengajaran semata
namun harus sesuai dengan agama islam agar nantinya dapat mencetak generasi
yang ulil albab disertai dengan modern nya. . Sementara itu, para hartawan
harus turut serta atau andil dalam pendidikan demi kepentingan masyarakat
dengan memberikan bantuan materil.
Selain ide-ide tersebut ia juga menekankan
pentingnya ilmu pengetahuan dan perbaikan sistem pendidikan. ia menyadari bahwa
pengetahuan adalah salah satu dari sebab-sebab kemajuan umat islam dimasa
lampau dan yang menjadi salah satu sebab kemajuan barat sekarang. Untuk
mengembalikan kemajuan yang hilang umat islam harus mempelajari dan
mementingkan ilmu pengetahuan dan perbaikan sistem pendidikan.[15]
Menurut Muhammad Abduh ilmu
pengetahuan modern yang didasarkan pada hukum alam (sunatullah) tidaklah
bertentangan dengan islam yang sebenarnya hukum alam atau sunattullah termasuk
ciptaaan Tuhan dan wahyu yag berasal dari Tuhan. Tidaklah mungkin pengetahuan
yang modern yang berdasarkan pada hukum alam tidak bertentangan dengan islam
karena berasal dari sumber yang sama yaitu dari Tuhan.[16]
Muhammad Abduh sadar akan
bahaya yang timbul dari dikotomi pendidikan, maka ia mengubah al-Azhar Eropa
dengan universitas yang ada di Eropa. Kemudian Abduh berhasil memasukkan
pelajaran umum kedalam kurikulum al-Azhar seperti ilmu matematika, al-jabar,
ilmu ukur dan ilmu bumi. Harapan dimasukkannya ilmu pengetahuan modern kedalam
al-Azhar dengan memperkuat pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintahan
untuk menghilangkan jurang pemisah antara golongan ulama dengan golongan ahli
ilmu modern.[17]
Gagasan Abduh
yang paling mendasar dalam sistem pendidikan adalah ia sangat menentang sistem
dualisme. menurutnya sekolah umum harus di ajarkan agama, sekolah agama harus
di ajarkan ilmu pengetahuan modern. Jadi semua sekolah itu berimbang antara
dunia dan akhirat.
D.
PENGARUH PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH UNTUK INDONESIA
Terbitnya majalah “al Urwat al
Wustqa” maka tergugahlah islam untuk bangkit menentang dan mengusir
penjajahan barat. Salah satunya, gerakan padri di Minangkabau yang di pelopori
oleh H. Simanik, H. Mismin, H. Piobang dan lain-lain yang menganut paham
wahabi.[18]
Kedua Pembaharuan tahap kedua terjadi pada permulaan abad
kedua puluh yang dibawa oleh eorang Minangkabau pula bernama Thaher Jalaluddin
eorang putera Indonesia pertama yang
mencapai yahadah tertinggi pada Universitas al-Azhar di Mesir. Ia sempat
bertemu dengan Rasyid Ridha bahkan pernah menjadi murid Muhammad Abduh, dan
paham “al Manar” ternyata menjadi pegangan hidupnya. Ia menyalurkan ide
Muhammad Abduh melalui majalah al Iman berbahasa Melayu yang di terbitkan di
Singapura. Majalah ini sampai pula ke tangan para Ulama Indonesia dan cukup
berpengaruh sehingga mendorong mereka menerbitkan majalah al Munir yang isinya
juga memuat ide-ide yang terdapat dalam al Manar.[19]
Sementara itu
di Jawa baik al Munir maupun al Manar ternyata telah menjadi langganan K.H.
Ahmad Dahlan seorang bekas murid Ahmad Khatib di Mekah dan ketika pergi haji ia
juga sampai bertemu dengan Rasyid Ridha dan bertukar pikiran dengannya.[20]
Berkat isi al
Manar yang berisikan semangat kebangkitan umat dari kelemahan di saping ia
sendiri merasa sadar mengenai kondisi umat islam di Indonesia yang bergerak di
bidang pendidikan dan pengajaran yang lebih terkenal dengan pergerakan
Muhammadiyah.[21]
Selain itu
seorang tokoh yang berasal dari Sudan telah datang ke Indonesia bernama Ahmad
Assurkati, salah seorang murid al-Azhar yang diberi tugas memberi pelajaran
bahasa arab pada Jamiatul Khoir dan penganut paham Muhammad Abduh. Setelah ia
mengertahui kondisi umat islam di Indonesia sangat menyedihkan itu dengan penuh
kesadaran dan rasa tanggung jawab ia kemudian terdorong untuk melakukan
perbaikan-perbaikan dengan megeluarkan ide Muhammad Abduh tersebut. Maka
lahirlah organisai pembaharuan ilam yang bernama “al Irsyad” pada tahun 1914 di
Jakarta.[22]
Kedatangan
seorang tokoh bernama A. Hassan asal keturunan India ke Indonesia tertarik pada
usaha-usaha kaum muda sebagai pembaharu untuk menghilangkan tradisi lama
setelah ia berkenalan dengan tokoh-tokoh baru seperti K. H. Ahmad Dahlah, Ahmad
Sukarti, H. Zamzam dan lain-lain dan saling bertukar pikiran akhirnya ia
cenderung untuk membangun umatnya pula dengan menanamkan ide pembaharuan
Muhammad Abduh dengan membentuk organisasi Persatuan Islam (persis) yang di
dirikan di Bandung pada tahun 1936 suatu pergerakan yang mengutamakan persatuan
dalam pembangunan ajaran islam dengan corak yang lebih radikal.[23]
Ketiga
organisasi tersebut sama-sama berusaha membangkitkan umat islam dalam rangka
memurnikan kembali ajaran islam.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Muhammad Abduh Adalah seorang cendekiawan muslim, pendidik, dan
salah satu tokoh pembaharu islam dari negeri Mesir. Keinginannya yang paling
besar adalah memperbaharui pendidikan islam yang menurutnya bahwa dengan
pendidikan maka bisa merubah pemikiran dan menjadikan pemikirannya menjadi
lebih baik.
Dalam pemikirannya ada dari kalangan yang menyetujui dan ada juga
yang tidak. Menurut kalangan yang menyetujuinya adalah bahwa pemikiran Abduh
ingin memajukan umat islam dan ingin menunjukkan bahwa islam itu adalah
rasional sedangkan menurut kalangan yang tidak menyetujuinya bahwa pemikiran
Abduh bisa menyesatkan ummat islam karena pemikirannya telah tercampur oleh
faham neo mu’tazilah.
Namun dapat disadari atau tidak, pemikiran Muhammad Abduh ini
sangat mempengaruhi pemikiran umat muslim saat ini termasuk cendekiawan muslim
dari Indonesia juga tentunya.
Salah satu pemikirannya sampai pada salah satu muridnya yaitu
Rasyid ridho yang menulis majalah al manar yang pada akhirnya menjadi langganan
dari tokoh cendekiawan muslim indonesia KH Ahmad dahlan yang sampai saat ini
tetap eksisi dalam menjawab tantangan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Mukti. 1990. Ijtihad:Dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan
dan Muhammad Iqbal. Jakarta: PT. Bulan Bintang
Azhari,
Afif dan Maimunah, Mimien. 1996. Muhammad Abduh dan pengaruhnya di Indonesia.
Surabaya: Al-Ikhlas
Hamid,Shamad.
1984.Islam dan Pembaharuan: Sesuatu Kajian Tentang Aliran Modern dalam Islam
dan Permasalahannya.Surabaya: Bina Ilmu
Nasution,
Harun. 1992. Pembaharuan dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan Jakarta: Bulan Bintang
Shihab,
Quraish. 1994.Studi Kritis Tafsir Al-Manar.Bandung: Pustaka Hidayah
[1]. A.
Mukti, Ijtihad:Dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan dan Muhammad
Iqbal, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), hlm. 11
[2]. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. Ke-9, hlm. 58-59
[3] Prof.
Dr. A. Mukti, Ijtihad:Dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan dan
Muhammad Iqbal, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), hlm. 36
[4] Ibid, hlm. 36-37
[5] Ibid, hlm. 37
[6] Ibid, hlm. 39
[7] Ibid, hlm. 40
[8] Ibid, hlm. 41-42
[9] Ibid, hlm. 45
[10] Menurut
Muhammad Abduh dalam bukunya Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam,
(Bandung:Mizan, 1996), hlm.
[11] Ibid, hlm. 64
[12] Ibid, hlm. 65-66
[13] Ibid, hlm. 66
[14] Ibid, hlm. -
[15]. Taufik, Ahmad Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Raja
Grafindo, Jakarta, 2005. Hlm 97.
[16] . Ibid.
[17] . Ibid. Hlm 98
[18]. Hamid, Shamad
Islam dan Pembaharuan, Bina Ilmu, Surabaya,1984. Hlm 59.
[19] . Ibid.
[20] . Ibid. Hlm
60.
[21] . Ibid.
[22] . Ibid.
[23]. Ibid
0 Komentar