BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring
dengan perubahan dan dinamika masyarakat yang terus bergerak menuju arus
globalisasi, problem dan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan
makin rumit dan kompleks. Kasus-kasus amoral seperti fenomena klitih, kerusuhan
supporter dan pergaulan bebas perlu menjadi perhatian serius dalam pendidikan.
Selain
itu, terbukanya arus informasi dan interaksi dengan dengan negara-negara lain,
menuntut suatu bangsa untuk ikut menjadi bagian dalam masayarakat dunia.
Mobilitas yang tinggi, mempercepat pertemuan antarsuku dan antarbangsa. Hal
tersebut terkadang menimbulkan pertentangan antar sektor sosial-budaya.[1] Apabila
hal ini tidak diantisipasi dengan baik maka dikhawatirkan suatu bangsa akan
mengalami ketertinggalan dari bangsa lain.
Sesuai
dengan UU nomer 20 tahun 2003. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,pengendalian
diri, kepribadian,kecerdasan,akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2]
Maka
dari itu, pendidikan tidak hanya dituntut untuk mampu melahirkan
generasi-generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga diharapkan dapat
menciptakan generasi bangsa yang cerdas secara emosional dan spiritual untuk
menjadi bekal dalam bermasyarakat. Karena makin rumit dan kompleksnya persoalan
yang muncul di tengah masyarakat, dibutuhkan paradigma pendidikan masa depan
yang dinilai lebih mampu menjawab tantangan zaman. Pendidikan harus bisa
menjawab tantangan-tantangan dan mengurai benang-benang masalah yang muncul di
tengah masyarakat.
Salah
satu bagian penting dari pendidikan adalah kurikulum. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.[3] Dengan demikian kurikulum disusun untuk membentuk
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan agar sesuai dengan tujuan
pendidikan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan paradigma yang tepat
guna menghasilkan kurikulum yang tepat.
Maka
dari itu dalam makalah ini akan menyajikan pembahasan mengenai perubahan
paradigma pendidikan dalam pengembangan kurikulum.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian dari paradigma?
2.
Bagaimana
perubahan paradigma pendidikan dalam pengembangan kurikulum?
C.
Tujuan Makalah
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari paradigma ?
2.
Untuk
mengetahui perubahan paradigma pendidikan dalam pengembangan kurikulum ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Paradigma
Paradigma dimbil dari bahasa Inggris, paradigm.
Dalam bahasa Yunani, istilah paradigma berasal dari kata ,para deigma dari
kata para yang berarti di samping, di sebelah, dan dekynai
yang berarti model, contoh, arketipe, ideal. [4]
selain itu, disebutkan pula dalam pengertian lain, paradigma adalah cara
memandang sesuatu, dasar-dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk
memecahkan problem-problem, serta konstruk berpikir yang mampu menjadi wacana
untuk temuan ilmiah.[5]
Menurut
Thomas Khun, Paradigma adalah suatu asumsi dasar
dan asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi
sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat
menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.[6]
Dalam masalah
yang populer istilah paradigma berkembang menjadi terminologi yang mengandung
konotasi pengertian sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas
serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan, serta proses dalam
suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan, reformasi maupun dalam
pendidikan.[7]
Paradigma
membantu seseorang dalam merumuskan tentang apa yang harus dipelajari,
persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam
menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Paradigma
juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di
terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama. Paradigma
ibarat kacamata, apabila kita memakai kacamata berwarna biru, maka lingkungan
di sekeliling kita akan tampak biru, apabila kita memakai kacamata merah, maka
lingkungan sekeliling kita akan tampak merah. Dengan demikian, paradigma
seseorang dengan orang lain bisa memiliki kesamaan dan juga bisa saja berbeda.
Dari
pemaparan diatas, dapat kita pahami paradigma adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu
sumber nilai), sehingga menjadi sumber hukum, metode, serta penerapan dalam
ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu
pengetahuan itu sendiri. Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan tentang
apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang
harus diikuti dalam menginterprestasikan jawaban yang diperoleh.
Dari
pengertian diatas, dapat dipahami bahwa cara pandang atau paradigma seseorang
terhadap sesuatu akan mempengaruhi sikap, pikiran dan tindakan kedepannya.
Obyek yang sama, dipandang oleh subyek yang berbeda dengan cara pandang atau
paradigma yang berbeda bisa menghasilkan pola pikir, sikap dan tindakan yang
berbeda.
B.
Perubahan
Paradigma Pendidikan
Seiring
dengan perubahan dan dinamika masyarakat yang terus bergerak menuju arus
globalisasi, problem dan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan
makin rumit dan kompleks. Di era globalisasi ini batas-batas negara
seoalah-olah tak lagi tampak. Hal ini membawa pengaruh bahwa pendidikan
nasional akan terintegrasi dengan pendidikan dunia.
Permasalahan
globalisasi dalam pendidikan dapat dilihat dari output pendidikan. Seperti kita
ketahui di era globalisasi ini telah terjadi pergeseran paradigm tentang
keunggulan negara, dari keunggulan komparatif menuju keunggulan kompetitif. [8]
keunggulan kompetitif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara
keunggulan kompetitif bertumpu pada pemikiran sumber daya manusia yang
berkualitas.
Lebih
lanjut,karakter sumber daya manusia pada abad 21 memuntut seseorang untuk
memiliki : critical-tingking and problem-solving skills, communication and
collaboration skills, creativity and innovation skills, information and
communication technology Litteracy, contextual learning skills, information and
media literacy skills,[9]
Critical-thinking
and problem-solving skill berarti mampu berfikir secara kritis,
lateral, dan sistemik, terutama dalam konteks pemecahan masalah. Communication
and collaboration berarti mampu berkomunikasi dan berkolaborasi secara
efektif dengan berbagai pihak. Creativity berarti mampu mengembangkan
kreativitas yang dimilikinya untuk menghasilkan berbagai terobosan yang
inovatif. Information and communition tecnologi literacy berarti mampu
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kinerja dan
aktivitas sehari-hari. Contextual learning skill berarti mampu menjalani
aktivitas pembelajaran mandiri yang kontekstual sebagai bagian dari
pengembangan diri. Serta yang terakhir adalah information and media literacy
skills berarti mampu memahami dan
menggunakan berbagai media komunikasi untuk menyampaikan beragam gagasan dan
melaksanakan aktivitas kolaborasi serta interaksi dengan beragam pihak.
Selain
itu, manusia era modern memiliki karakteristik kepribadian bersedia menerima
ide-ide dan pengalaman baru dan terbuka untuk perubahan dan pembaharuan.
Mempunyai kemampuan untuk membentuk pendapat baru. Memiliki ketepatan waktu dan
menyusun rencana kerja untuk waktu-waktu yang akan datang.[10]
Dalam
konteks pergeseran keunggulan dan tutntuan kualitas sumber daya manusia di era
global tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang
sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Maka
dari itu pendidikan harus bisa mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi
tuntutan globalisasi tersebut. Paradigma yang tepat dalam pengembangan
kurikulum diharapkan mampu menghasilkan kurikulum yang tepat sasaran dalam arti
susuai dengan tujuan nasional.
1. Paradigma
Teacher Centered dan Student Centered
Teacher
centered adalah sebuah paradigma pengajaran yang
menempatkan guru sebagai poros utama dalam proses pembelajaran. Guru lebih
banyak melakukan kegiatan belajar mengajar dengan bentuk ceramah. Selain itu
guru hanya hanya mengejar target waktu untuk menghabiskan materi pelajaran.[11]
Pendekatan ini akan membuat guru semakin cerdas tetapi siswa hanya memiliki
pengalaman mendengar paparan saja. Proses belajar mengajar lebih banyak
berjalan secara satu arah. Output yang dihasilkan oleh paradigma
pengajaran seperti ini tidak lebih hanya menghasilkan siswa yang kurang mampu
mengapresiasi ilmu pengetahuan, takut berpendapat, tidak berani mencoba yang
akhirnya cenderung menjadi pelajaran pasif yang miskin kreativitas.[12]
Dari
sini bisa kita lihat kembali, apabila output yang dihasilakan cenderung
mengarah pada yang demikian, maka paradigma teacher centered ini tidak
bisa lagi sepenuhnya digunakan, karena era globalisasi sekarang ini menuntut
adanya individu yang aktif dan kaya kreativitas.
Untuk
menjawab tantangan era global, paradigma student centered hadir sebagai
salah satu alternative solusi dan jawaban atas permasalahan dan tantangan ere
global. Student centered adalah sebuah paradigma pembelajaran yang
berpusat pada diri siswa atau peserta didik. Paradigma yang kedua ini
diharapkan mampu mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam membangun
pengetahuan,sikap dan perilaku.[13]
Melalui pembelajaran yang mendorong keterlibatan siswa secara aktif berarti
memberikan dorongan kepada siswa untuk mengembangkan daya pikir serta membangun
pemahaman dari dirinya sendiri.
Seorang guru yang
memandang peserta didik dengan paradigma teacher centerd memiliki perlakuan yang berbeda
dengan guru yang
berparadigma student centered.[14] Guru yang berparadigma teacher centered lebih
banyak mengarahkan aktifitas pembelajaran pada diri guru atau guru sebagai
pusat dari kegiatan pembelajaran. Sementara itu, guru yang berparadigma student
centered akan mengarahkan kegiatan pembelajaran yang berpusat pada diri
peserta didik. Dalam paradigma yang kedua ini, guru bertindak sebagai
fasilitator.
Melalui
penerapan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, maka peserta didik
diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif, selalu ditantang untuk memiliki
daya kritis, mampu menganalisis dan dapat memecahkan masalahnya sendiri.
2. Paradigma
teaching dan paradigma learning.
Banyak
orang yang sudah mengetahui bahwa ternyata potensi yang dimiliki otak manusia
itu sungguh luar biasa. Tetapi sayangnya potensi itu hanya tinggal potensi. Sebagian
besar manusia belum bisa menggunakan dan memanfaatkan kehebatan potensi yang
dimiliki otak yang dimilikinya. Sebagian besar metode dan suasana pembelajaran
di sekolah-sekolah yang digunakan oleh guru kita tampaknya banyak menghambat
daripada memotivasi potensi otak.
Oleh
karena itu perlu adanya proses kreatif dan perumusan kembali paradigma dan visi
pendidikan. Paradigma dan visi pendidikan yang cocok bagi tantangan zaman
sekarang ini diantaranya adalah mengubah paradigm teaching (mengajar)
dengan paradigma learning (belajar).
Pengajaran adalah kegiatan yang
dilakukan guru dalam menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Pengajaran juga
diartikan sebagi interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran berlangsung sebagai
suatu proses yang saling mempengaruhi antara guru dan siswa. Adapun tujuan dari
pengajaran adalah untuk menyampaikan informasi kepada pesera didik.[15]
Maka dari itu dalam pengajaran yang menjadi focus utama adalah guru sehigga
proses belajar hanya dapat berlangsung apabila ada pengajar.
Pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan
pendidik agar terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, kemahiran dan
tabiat serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik.[16]
Dengan demikian, pembelajaran menitik beratkan pada bantuan kepada peserta
didik untuk dapat belajar dengan baik karena tujuan dari pembelajaran adalah
terjadinya belajar pada diri peserta didik, bukan menyampaikan informasi kepada
si belajar sehingga kegiatan belajar dapat berlangsung dengan atau tanpa
pengajar.
Dengan
perubahan ini proses pendidikan menjadi proses bagaimana belajar bersama antara
guru dan peserta didik dan sumber belajar lainnya. Guru dalam hal ini juga
termasuk dalam proses belajar, sehingga lingkungan sekolah menjadi learning
society (masyarakat belajar). Dalam paradigm seperti ini, peserta didik tidak
lagi disebut pupil (siswa) tetapi sebagai learner (yang belajar).
3.
Paradigma Assesment of Learning (AOL),
Assesment For Learning(AFL) dan Assesment As Learning (AAL)
Salah satu bagian vital
dari proses pendidikan adalah asesmen. Tetapi sedikit guru yang memberikan
perhatian padanya. Kebanyakan guru berpikir bahwa asesmen hanyalah bagian pelengkap
dari suatu proses belajar. Mereka melakukannya ketika mereka akan “mengambil”
nilai untuk siswa.
Para guru
tersebut mengadakan asesmen pada bagian
akhir dari program pengajaran, biasanya dilakukan melalui ujian tengah semester
dan ujian akhir semester. Ujian
dilakukan lebih banyak melalui tes tertulis, menilai pelajaran tertentu
(olahraga dan sains) melalui paper-and-pencil
tests adalah sama halnya menilai
seorang pemain basket dengan memberikan tes tertulis. Kita mungkin dapat
mengukur pengetahuannya mengenai permainan basket, tetapi kita tidak dapat
mengetahui keterampilannya dalam bermain basket.
Berdasarkan
fungsinya, penilaian sering dibedakan dalam bebepara kelompok yaitu penilaian
formatif dan penilaian sumatif. Penilaian formatif berfungsi untuk memberi
umpan balik terhadap kemajuan belajar peserta didik, memperbaiki proses
pembelajaran dalam rangka meningkatkan pemahaman atau prestasi belajar peserta
didik. Penlaian sumatif adalah penilaian pencapaian peserta didik pada suatu
periode tertentu semisal pada akhir pokok bahasan atau akhir semester.[17]
Dalam perkembangannya,
dibedakan kedalam tiga kelompok yaitu Assesment of Learning (AOL), Assesment For Learning(AFL) dan
Assesment As Learning (AAL).[18] Konsep
penilaian tersebut muncul berdasarkan ide bahwa belajar tidak hanya transfer
pengetahuan tetapi lebih pada proses pengolahan kognitif yang aktif yang
terjadi ketika seseorang berinteraksi dengan ide-ide baru.
Assessment of learning merupakan penilaian yang dilaksanakan setelah proses
pembelajaran selesai. Proses pembelajaran selesai tidak selalu terjadi di akhir
tahun atau di akhir peserta didik menyelesaikan pendidikan pada jenjang
tertentu. Setiap pendidik melakukan penilaian yang dimaksudkan untuk memberikan
pengakuan terhadap pencapaian hasil belajar setelah proses pembelajaran
selesai, berarti pendidik tersebut melakukan assessment of learning.
Ujian Nasional, ujian sekolah/madrasah, dan berbagai bentuk penilaian sumatif
merupakan contoh assessment of learning (penilaian hasil belajar).[19]
Assessment
for learning dilakukan selama proses
pembelajaran berlangsung dan biasanya digunakan sebagai dasar untuk melakukan
perbaikan proses belajar mengajar. Dengan assessment for learning pendidik
dapat memberikan umpan balik terhadap proses belajar peserta didik, memantau
kemajuan, dan menentukan kemajuan belajarnya. Assessment for learning
juga dapat dimanfaatkan oleh pendidik untuk meningkatkan performan dalam
memfasilitasi peserta didik. Berbagai bentuk penilaian formatif, misalnya
tugas, presentasi, proyek, termasuk kuis merupakan contoh assessment for
learning (penilaian untuk proses belajar).[20]
Penilaian
AFL ini dilakukan untuk meningkatkan focus pembelajaran, mengkreasikan
pembelajaran, meningkatkan kinerja guru dan siswa selama pembelajaran,
memotivasi peserta didik, dan meningkatkan hubungan antara kurikulum,
pembelajaran dan penilaian.
Assesment As Learning adalah sebuah
paradigma yang meletakkan penilaian sebagai pembelajaran. Penilaian sebagai pembelajaran terjadi ketika
siswa adalah penilai mereka sendiri. Siswa memantau pembelajaran mereka
sendiri, mengajukan pertanyaan dan menggunakan berbagai strategi untuk
memutuskan apa yang mereka ketahui dan dapat lakukan, dan bagaimana menggunakan
penilaian untuk pembelajaran baru.[21]
Dari
ketiga penilaian dapat dipahami bahwa Assessment as learning mempunyai
fungsi yang mirip dengan assessment for learning, yaitu berfungsi sebagai
formatif dan dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung. Perbedaannya,
assessment as learning melibatkan peserta didik secara aktif dalam kegiatan
penilaian tersebut. Peserta didik diberi pengalaman untuk belajar menjadi
penilai bagi dirinya sendiri. Penilaian diri (self assessment) dan
penilaian antar teman merupakan contoh assessment as learning.
Dalam
assessment as learning peserta didik juga dapat dilibatkan dalam
merumuskan prosedur penilaian, kriteria, maupun rubrik/pedoman penilaian
sehingga mereka mengetahui dengan pasti apa yang harus dilakukan agar
memperoleh capaian belajar yang maksimal.
Selama
ini assessment of learning paling dominan dilakukan oleh pendidik
dibandingkan assessment for learning dan assessment as learning.
Penilaian pencapaian hasil belajar seharusnya lebih mengutamakan assessment as
learning dan assessment for learning dibandingkan assessment of learning.
Beberapa paradigma diatas kiranya bisa menjadi
alternatif bagi pendidikan dalam mengembangkan kurikulum untuk mempersiapkan
peserta didik menghadapi era global. Dalam kurikulum 2013 sendiri telah
dikembangkan dalam beberapa aspek, baik dakam pembelajaran ataupun dalam
penilaian. Dalam rumusannya, pembelajaran dilakukan dengan pendekatan
scientific dengan berbagai metode lain yang mendorong peserta didik untuk menghasilkan karya kontekstual. [22]
Pendekatan scientific sendiri terdiri dari lima
aktivitas yaitu mengamati,menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi dan
mengkomunikasikan. Aktivitas pembelajaran ini mengalami perkembangan dari
kurikulum sebelumnya yang hanya melibatkan tiga aktivitas yaitu eksplorasi,
elaborasi dan komunikasi. Ragam aktivitas dalam pendekatan scientific tersebut
kemudian dipadukan dengan metode discovery learning, project based learning,
dll.
Dari segi penilaian, sesuai Permendikbud nomor 66 tahun
2013 disebutkan bahwa penilaian dalam kurikulum 2013 menggunakan penilaian
otentik.[23]
Sifat dari penilaian otentik adalah berpusat pada peserta didik, terintegrasi
dengan pembelajaran, otentik, berkelanjutan dan individual.[24]
Dari penilaian tersebut diharapkan mampu membentuk unsur-unsur kognitif peserta
didik seperti kemauan mengambil risiko,kreatif, tanggung jawab dan rasa
kepemilikan.
Penilaian otentik merupakan sebutan yang digunakan
untuk menggambarkan tugas-tugas riil yang dibutuhkan peserta didik untuk
dilaksanakan dalam menghasilkan pengetahuan mereproduksi informasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Paradigma adalah suatu
asumsi dasar dan asumsi teoritis yang menjadi sumber hukum, metode, serta
penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta
karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum,
pengetahuan yang dimaksud disini adalah pengetahuan tentang pengembangan
kurikulum.
Seiring berjalannya waktu, beberpa paradigm dalam pendidikan
mengalami pergeseran yang menyebabkan bergesernya kurikulum dalampendidikan.
Adapun pergeseran paradigm dalam pendidikan hingga masa sekarang adalah
paradigm teacher centered ke student centered, paradigm Teaching
ke Paradigma Learning. Paradigma Assesment of
Learning (AOL), Assesment For Learning(AFL) dan Assesment As Learning (AAL).
Beberapa paradigm diatas
mempengaruhi penyusunan dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Dalam kurikulum
2013, system pembelajaran diarahkan pada aktivitas mandiri peserta didik dengan
pendekatan saintifik. Dalam penilaiannya, menggunakan ragam penilaian yang
memuat penilaian diri sendiri, penilaain otentik beberpa penilaian lainnya.
Nana Syaodiq Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum : Teori dan Praktik, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002) hal. 61.
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional nomer 20 tahun 2003 pasal 1.
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional nomer 20 tahun 2003 pasal 19
Lorens
Bagus, Kamus Filsafat , (Jakarta; Gramedia, 2002), hlm. 779
Noeng
Muhajir, Filsafat Ilmu ,( Yogyakarta: Rakesarasin,2001),hlm.177
Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2015), hlm. 157-158.
Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), hlm. 157-158.
Syaiful, Sagala, Konsep dan Makna
Pembelajaran ( Bandung: Alfabeta, 2014), hal. 20.
Moh. Yamin, Manajemen Mutu
Kurikulum Pendidikan.(Yogyakarta : Diva Press,2009) hal. 30.
Dede Rosyada, Paradigma
Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalampenyelenggaraan
Pendidikan.(Jakarta : Prenada Media, 2004), hal. 32
Kuntowijoyo, Muslim
Tanpa Masjid : Esai-Esai Agama,Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme
Transendental (Bandung : Mizan, 2001), hal. 122.
Trilling,
Bernie and Charles Fadel , 21 Century skills : Learning for Life in Our
Times (San Fransisco : John Wiley & Sons, Inc. ossey-Bass,
2009)
Zainal Arifin, Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum ( Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2013), hal. 70.
Ditjen dikti depdiknas, Tanya
jawab Seputar unit dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi(Jakarta :
Departemen Pendidikan Nasional, 2004), hal 24
Sudjana S, Metode dan Teknik
Pembelajaran Partisipatif (Bandung : Production, 2005), hal 30.
Moh.Yamin Manajemen Mutu
Kurikulum Pendidikan.(Yogyakarta : Diva Press , 2009, hal. 34.
Moh.Yamin Manajemen Mutu
Kurikulum Pendidikan.(Yogyakarta : Diva Press , 2009) hal. 153.
.
[1] Nana Syaodiq
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktik, (Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2002) hal. 61.
[2] Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional nomer 20 tahun 2003 pasal 1.
[3] Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional nomer 20 tahun 2003 pasal 19
[4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat , (Jakarta;
Gramedia, 2002), hlm. 779
[5] Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu ,( Yogyakarta:
Rakesarasin,2001),hlm.177
[6] Drs. Surajiyo,
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), hlm. 157-158.
[7] Drs. Surajiyo,
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), hlm. 157-158.
[8] Kuntowijoyo, Muslim
Tanpa Masjid : Esai-Esai Agama,Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme
Transendental (Bandung : Mizan, 2001), hal. 122.
[9] Trilling,
Bernie and Charles Fadel , 21 Century skills : Learning for Life in Our
Times (San Fransisco : John Wiley & Sons, Inc. ossey-Bass,
2009)
[10] Zainal Arifin,
Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum ( Bandung : PT Remaja Rosda
Karya, 2013), hal. 70.
[11] Ditjen dikti
depdiknas, Tanya jawab Seputar unit dan Proses Pembelajaran di Perguruan
Tinggi(Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, 2004), hal 24
[12] Sudjana S, Metode
dan Teknik Pembelajaran Partisipatif (Bandung : Production, 2005), hal 30.
[13] ibid
[14] Syaiful,
Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran ( Bandung: Alfabeta, 2014), hal.
20.
[15] Syaifudin
Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung : Alfa Beta, 2014), hal.
9.
[16] C .
Asriningsih, Belajar dan Pembelajaran ( Jakarta : Rineka CIpta,2012) hal
5.
[17] Yunus Abidin, Desain
Sistem Pembelajaran : Dalam Konteks Kurikulum 2013, (Bandung : Refika Aditama,
2014), hal 23.
[18] Banned
R.E Gitomer, Education Assesment in
the 21st century, (London: Springer, 2009) hal. 10
[19] Deni Hadiana,
“Penilaian Hasil Belajar untuk Siswa Sekolah Dasar”, dalam jurnal Pusat
Penilaian Pendidikan, Vol 21, No.1(April 2015) hal.15
[20] ibid
[21] ibid
[22] Yunus Abidin, Desain
Siste Pembelajaran : Dalam Konteks Kurikulum 2013, (Bandung : Refika
Aditama, 2014), hal 23.
[23] Permendikbud
nomer 66 tahun 2013.
[24] Yunus Abidin, Desain
Sistem Pembelajaran : Dalam Konteks Kurikulum 2013. (Bandung : Refika
Aditama, 2014) hal.79.
0 Komentar