Perubahan Paradigma Pendidikan


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seiring dengan perubahan dan dinamika masyarakat yang terus bergerak menuju arus globalisasi, problem dan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan makin rumit dan kompleks. Kasus-kasus amoral seperti fenomena klitih, kerusuhan supporter dan pergaulan bebas perlu menjadi perhatian serius dalam pendidikan.
Selain itu, terbukanya arus informasi dan interaksi dengan dengan negara-negara lain, menuntut suatu bangsa untuk ikut menjadi bagian dalam masayarakat dunia. Mobilitas yang tinggi, mempercepat pertemuan antarsuku dan antarbangsa. Hal tersebut terkadang menimbulkan pertentangan antar sektor sosial-budaya.[1] Apabila hal ini tidak diantisipasi dengan baik maka dikhawatirkan suatu bangsa akan mengalami ketertinggalan dari bangsa lain.
Sesuai dengan UU nomer 20 tahun 2003. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan,akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2]
Maka dari itu, pendidikan tidak hanya dituntut untuk mampu melahirkan generasi-generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga diharapkan dapat menciptakan generasi bangsa yang cerdas secara emosional dan spiritual untuk menjadi bekal dalam bermasyarakat. Karena makin rumit dan kompleksnya persoalan yang muncul di tengah masyarakat, dibutuhkan paradigma pendidikan masa depan yang dinilai lebih mampu menjawab tantangan zaman. Pendidikan harus bisa menjawab tantangan-tantangan dan mengurai benang-benang masalah yang muncul di tengah masyarakat.
Salah satu bagian penting dari pendidikan adalah kurikulum. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[3] Dengan demikian kurikulum disusun untuk membentuk masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan agar sesuai dengan tujuan pendidikan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan paradigma yang tepat guna menghasilkan kurikulum yang tepat.
Maka dari itu dalam makalah ini akan menyajikan pembahasan mengenai perubahan paradigma pendidikan dalam pengembangan kurikulum.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dari paradigma?
2.      Bagaimana perubahan paradigma pendidikan dalam pengembangan kurikulum?
C.    Tujuan Makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian dari paradigma ?
2.      Untuk mengetahui perubahan paradigma pendidikan dalam pengembangan kurikulum ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Paradigma
Paradigma dimbil dari bahasa Inggris, paradigm. Dalam bahasa Yunani, istilah paradigma berasal dari kata  ,para deigma dari kata para yang berarti di samping, di sebelah, dan dekynai yang berarti model, contoh, arketipe, ideal. [4] selain itu, disebutkan pula dalam pengertian lain, paradigma adalah cara memandang sesuatu, dasar-dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem, serta konstruk berpikir yang mampu menjadi wacana untuk temuan ilmiah.[5]
Menurut Thomas Khun, Paradigma adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.[6]
Dalam masalah yang populer istilah paradigma berkembang menjadi terminologi yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan, serta proses dalam suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan, reformasi maupun dalam pendidikan.[7] Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.

Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama. Paradigma ibarat kacamata, apabila kita memakai kacamata berwarna biru, maka lingkungan di sekeliling kita akan tampak biru, apabila kita memakai kacamata merah, maka lingkungan sekeliling kita akan tampak merah. Dengan demikian, paradigma seseorang dengan orang lain bisa memiliki kesamaan dan juga bisa saja berbeda.
Dari pemaparan diatas, dapat kita pahami paradigma adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterprestasikan jawaban yang diperoleh.
Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa cara pandang atau paradigma seseorang terhadap sesuatu akan mempengaruhi sikap, pikiran dan tindakan kedepannya. Obyek yang sama, dipandang oleh subyek yang berbeda dengan cara pandang atau paradigma yang berbeda bisa menghasilkan pola pikir, sikap dan tindakan yang berbeda.
B.     Perubahan Paradigma Pendidikan
Seiring dengan perubahan dan dinamika masyarakat yang terus bergerak menuju arus globalisasi, problem dan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan makin rumit dan kompleks. Di era globalisasi ini batas-batas negara seoalah-olah tak lagi tampak. Hal ini membawa pengaruh bahwa pendidikan nasional akan terintegrasi dengan pendidikan dunia.
Permasalahan globalisasi dalam pendidikan dapat dilihat dari output pendidikan. Seperti kita ketahui di era globalisasi ini telah terjadi pergeseran paradigm tentang keunggulan negara, dari keunggulan komparatif menuju keunggulan kompetitif. [8] keunggulan kompetitif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemikiran sumber daya manusia yang berkualitas.
Lebih lanjut,karakter sumber daya manusia pada abad 21 memuntut seseorang untuk memiliki : critical-tingking and problem-solving skills, communication and collaboration skills, creativity and innovation skills, information and communication technology Litteracy, contextual learning skills, information and media literacy skills,[9]
Critical-thinking and problem-solving skill berarti mampu berfikir secara kritis, lateral, dan sistemik, terutama dalam konteks pemecahan masalah. Communication and collaboration berarti mampu berkomunikasi dan berkolaborasi secara efektif dengan berbagai pihak. Creativity berarti mampu mengembangkan kreativitas yang dimilikinya untuk menghasilkan berbagai terobosan yang inovatif. Information and communition tecnologi literacy berarti mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kinerja dan aktivitas sehari-hari. Contextual learning skill berarti mampu menjalani aktivitas pembelajaran mandiri yang kontekstual sebagai bagian dari pengembangan diri. Serta yang terakhir adalah information and media literacy skills berarti  mampu memahami dan menggunakan berbagai media komunikasi untuk menyampaikan beragam gagasan dan melaksanakan aktivitas kolaborasi serta interaksi dengan beragam pihak.
Selain itu, manusia era modern memiliki karakteristik kepribadian bersedia menerima ide-ide dan pengalaman baru dan terbuka untuk perubahan dan pembaharuan. Mempunyai kemampuan untuk membentuk pendapat baru. Memiliki ketepatan waktu dan menyusun rencana kerja untuk waktu-waktu yang akan datang.[10]
Dalam konteks pergeseran keunggulan dan tutntuan kualitas sumber daya manusia di era global tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Maka dari itu pendidikan harus bisa mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi tuntutan globalisasi tersebut. Paradigma yang tepat dalam pengembangan kurikulum diharapkan mampu menghasilkan kurikulum yang tepat sasaran dalam arti susuai dengan tujuan nasional.
1.      Paradigma Teacher Centered dan Student Centered
Teacher centered adalah sebuah paradigma pengajaran yang menempatkan guru sebagai poros utama dalam proses pembelajaran. Guru lebih banyak melakukan kegiatan belajar mengajar dengan bentuk ceramah. Selain itu guru hanya hanya mengejar target waktu untuk menghabiskan materi pelajaran.[11] Pendekatan ini akan membuat guru semakin cerdas tetapi siswa hanya memiliki pengalaman mendengar paparan saja. Proses belajar mengajar lebih banyak berjalan secara satu arah. Output yang dihasilkan oleh paradigma pengajaran seperti ini tidak lebih hanya menghasilkan siswa yang kurang mampu mengapresiasi ilmu pengetahuan, takut berpendapat, tidak berani mencoba yang akhirnya cenderung menjadi pelajaran pasif yang miskin kreativitas.[12]
Dari sini bisa kita lihat kembali, apabila output yang dihasilakan cenderung mengarah pada yang demikian, maka paradigma teacher centered ini tidak bisa lagi sepenuhnya digunakan, karena era globalisasi sekarang ini menuntut adanya individu yang aktif dan kaya kreativitas.
Untuk menjawab tantangan era global, paradigma student centered hadir sebagai salah satu alternative solusi dan jawaban atas permasalahan dan tantangan ere global. Student centered adalah sebuah paradigma pembelajaran yang berpusat pada diri siswa atau peserta didik. Paradigma yang kedua ini diharapkan mampu mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuan,sikap dan perilaku.[13] Melalui pembelajaran yang mendorong keterlibatan siswa secara aktif berarti memberikan dorongan kepada siswa untuk mengembangkan daya pikir serta membangun pemahaman dari dirinya sendiri.
Seorang guru yang memandang peserta didik dengan paradigma teacher centerd memiliki perlakuan yang berbeda  dengan guru  yang berparadigma  student centered.[14] Guru yang berparadigma teacher centered lebih banyak mengarahkan aktifitas pembelajaran pada diri guru atau guru sebagai pusat dari kegiatan pembelajaran. Sementara itu, guru yang berparadigma student centered akan mengarahkan kegiatan pembelajaran yang berpusat pada diri peserta didik. Dalam paradigma yang kedua ini, guru bertindak sebagai fasilitator.
Melalui penerapan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, maka peserta didik diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif, selalu ditantang untuk memiliki daya kritis, mampu menganalisis dan dapat memecahkan masalahnya sendiri.
2.      Paradigma teaching dan paradigma learning.
Banyak orang yang sudah mengetahui bahwa ternyata potensi yang dimiliki otak manusia itu sungguh luar biasa. Tetapi sayangnya potensi itu hanya tinggal potensi. Sebagian besar manusia belum bisa menggunakan dan memanfaatkan kehebatan potensi yang dimiliki otak yang dimilikinya. Sebagian besar metode dan suasana pembelajaran di sekolah-sekolah yang digunakan oleh guru kita tampaknya banyak menghambat daripada memotivasi potensi otak.
Oleh karena itu perlu adanya proses kreatif dan perumusan kembali paradigma dan visi pendidikan. Paradigma dan visi pendidikan yang cocok bagi tantangan zaman sekarang ini diantaranya adalah mengubah paradigm teaching (mengajar) dengan paradigma learning (belajar).
Pengajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru dalam menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Pengajaran juga diartikan sebagi interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran berlangsung sebagai suatu proses yang saling mempengaruhi antara guru dan siswa. Adapun tujuan dari pengajaran adalah untuk menyampaikan informasi kepada pesera didik.[15] Maka dari itu dalam pengajaran yang menjadi focus utama adalah guru sehigga proses belajar hanya dapat berlangsung apabila ada pengajar.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, kemahiran dan tabiat serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik.[16] Dengan demikian, pembelajaran menitik beratkan pada bantuan kepada peserta didik untuk dapat belajar dengan baik karena tujuan dari pembelajaran adalah terjadinya belajar pada diri peserta didik, bukan menyampaikan informasi kepada si belajar sehingga kegiatan belajar dapat berlangsung dengan atau tanpa pengajar.
Dengan perubahan ini proses pendidikan menjadi proses bagaimana belajar bersama antara guru dan peserta didik dan sumber belajar lainnya. Guru dalam hal ini juga termasuk dalam proses belajar, sehingga lingkungan sekolah menjadi learning society (masyarakat belajar). Dalam paradigm seperti ini, peserta didik tidak lagi disebut pupil (siswa) tetapi sebagai learner  (yang belajar).
3.      Paradigma Assesment of Learning (AOL), Assesment For Learning(AFL) dan Assesment As Learning (AAL)
Salah satu bagian vital dari proses pendidikan adalah asesmen. Tetapi sedikit guru yang memberikan perhatian padanya. Kebanyakan guru berpikir bahwa asesmen hanyalah bagian pelengkap dari suatu proses belajar. Mereka melakukannya ketika mereka akan “mengambil” nilai untuk siswa.
Para guru tersebut mengadakan asesmen  pada bagian akhir dari program pengajaran, biasanya dilakukan melalui ujian tengah semester dan ujian akhir semester.  Ujian dilakukan lebih banyak melalui tes tertulis, menilai pelajaran tertentu (olahraga dan sains) melalui paper-and-pencil tests  adalah sama halnya menilai seorang pemain basket dengan memberikan tes tertulis. Kita mungkin dapat mengukur pengetahuannya mengenai permainan basket, tetapi kita tidak dapat mengetahui keterampilannya dalam bermain basket.
Berdasarkan fungsinya, penilaian sering dibedakan dalam bebepara kelompok yaitu penilaian formatif dan penilaian sumatif. Penilaian formatif berfungsi untuk memberi umpan balik terhadap kemajuan belajar peserta didik, memperbaiki proses pembelajaran dalam rangka meningkatkan pemahaman atau prestasi belajar peserta didik. Penlaian sumatif adalah penilaian pencapaian peserta didik pada suatu periode tertentu semisal pada akhir pokok bahasan atau akhir semester.[17]
Dalam perkembangannya, dibedakan kedalam tiga kelompok yaitu Assesment of Learning (AOL), Assesment For Learning(AFL) dan Assesment As Learning (AAL).[18] Konsep penilaian tersebut muncul berdasarkan ide bahwa belajar tidak hanya transfer pengetahuan tetapi lebih pada proses pengolahan kognitif yang aktif yang terjadi ketika seseorang berinteraksi dengan ide-ide baru.
Assessment of learning merupakan penilaian yang dilaksanakan setelah proses pembelajaran selesai. Proses pembelajaran selesai tidak selalu terjadi di akhir tahun atau di akhir peserta didik menyelesaikan pendidikan pada jenjang tertentu. Setiap pendidik melakukan penilaian yang dimaksudkan untuk memberikan pengakuan terhadap pencapaian hasil belajar setelah proses pembelajaran selesai, berarti pendidik tersebut melakukan assessment of learning. Ujian Nasional, ujian sekolah/madrasah, dan berbagai bentuk penilaian sumatif merupakan contoh assessment of learning (penilaian hasil belajar).[19]
Assessment for learning dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung dan biasanya digunakan sebagai dasar untuk melakukan perbaikan proses belajar mengajar. Dengan assessment for learning pendidik dapat memberikan umpan balik terhadap proses belajar peserta didik, memantau kemajuan, dan menentukan kemajuan belajarnya. Assessment for learning juga dapat dimanfaatkan oleh pendidik untuk meningkatkan performan dalam memfasilitasi peserta didik. Berbagai bentuk penilaian formatif, misalnya tugas, presentasi, proyek, termasuk kuis merupakan contoh assessment for learning (penilaian untuk proses belajar).[20]
Penilaian AFL ini dilakukan untuk meningkatkan focus pembelajaran, mengkreasikan pembelajaran, meningkatkan kinerja guru dan siswa selama pembelajaran, memotivasi peserta didik, dan meningkatkan hubungan antara kurikulum, pembelajaran dan penilaian.
Assesment As Learning adalah sebuah paradigma yang meletakkan penilaian sebagai pembelajaran. Penilaian sebagai pembelajaran terjadi ketika siswa adalah penilai mereka sendiri. Siswa memantau pembelajaran mereka sendiri, mengajukan pertanyaan dan menggunakan berbagai strategi untuk memutuskan apa yang mereka ketahui dan dapat lakukan, dan bagaimana menggunakan penilaian untuk pembelajaran baru.[21]
Dari ketiga penilaian dapat dipahami bahwa Assessment as learning mempunyai fungsi yang mirip dengan assessment for learning, yaitu berfungsi sebagai formatif dan dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung. Perbedaannya, assessment as learning melibatkan peserta didik secara aktif dalam kegiatan penilaian tersebut. Peserta didik diberi pengalaman untuk belajar menjadi penilai bagi dirinya sendiri. Penilaian diri (self assessment) dan penilaian antar teman merupakan contoh assessment as learning.
Dalam assessment as learning peserta didik juga dapat dilibatkan dalam merumuskan prosedur penilaian, kriteria, maupun rubrik/pedoman penilaian sehingga mereka mengetahui dengan pasti apa yang harus dilakukan agar memperoleh capaian belajar yang maksimal.
Selama ini assessment of learning paling dominan dilakukan oleh pendidik dibandingkan assessment for learning dan assessment as learning. Penilaian pencapaian hasil belajar seharusnya lebih mengutamakan assessment as learning dan assessment for learning dibandingkan assessment of learning.
Beberapa paradigma diatas kiranya bisa menjadi alternatif bagi pendidikan dalam mengembangkan kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi era global. Dalam kurikulum 2013 sendiri telah dikembangkan dalam beberapa aspek, baik dakam pembelajaran ataupun dalam penilaian. Dalam rumusannya, pembelajaran dilakukan dengan pendekatan scientific dengan berbagai metode lain yang mendorong peserta didik untuk  menghasilkan karya kontekstual. [22]
Pendekatan scientific sendiri terdiri dari lima aktivitas yaitu mengamati,menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi dan mengkomunikasikan. Aktivitas pembelajaran ini mengalami perkembangan dari kurikulum sebelumnya yang hanya melibatkan tiga aktivitas yaitu eksplorasi, elaborasi dan komunikasi. Ragam aktivitas dalam pendekatan scientific tersebut kemudian dipadukan dengan metode discovery learning, project based learning, dll.
Dari segi penilaian, sesuai Permendikbud nomor 66 tahun 2013 disebutkan bahwa penilaian dalam kurikulum 2013 menggunakan penilaian otentik.[23] Sifat dari penilaian otentik adalah berpusat pada peserta didik, terintegrasi dengan pembelajaran, otentik, berkelanjutan dan individual.[24] Dari penilaian tersebut diharapkan mampu membentuk unsur-unsur kognitif peserta didik seperti kemauan mengambil risiko,kreatif, tanggung jawab dan rasa kepemilikan.
Penilaian otentik merupakan sebutan yang digunakan untuk menggambarkan tugas-tugas riil yang dibutuhkan peserta didik untuk dilaksanakan dalam menghasilkan pengetahuan mereproduksi informasi.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Paradigma adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang menjadi sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, pengetahuan yang dimaksud disini adalah pengetahuan tentang pengembangan kurikulum.
Seiring berjalannya waktu, beberpa paradigm dalam pendidikan mengalami pergeseran yang menyebabkan bergesernya kurikulum dalampendidikan. Adapun pergeseran paradigm dalam pendidikan hingga masa sekarang adalah paradigm teacher centered ke student centered, paradigm Teaching ke Paradigma Learning.  Paradigma Assesment of Learning (AOL), Assesment For Learning(AFL) dan Assesment As Learning (AAL).
Beberapa paradigm diatas mempengaruhi penyusunan dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Dalam kurikulum 2013, system pembelajaran diarahkan pada aktivitas mandiri peserta didik dengan pendekatan saintifik. Dalam penilaiannya, menggunakan ragam penilaian yang memuat penilaian diri sendiri, penilaain otentik beberpa penilaian lainnya.




Nana Syaodiq Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktik, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002) hal. 61.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomer 20 tahun 2003 pasal 1.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomer 20 tahun 2003 pasal 19
Lorens Bagus, Kamus Filsafat , (Jakarta; Gramedia, 2002), hlm. 779
Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu ,( Yogyakarta: Rakesarasin,2001),hlm.177
Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), hlm. 157-158.
Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), hlm. 157-158.
Syaiful, Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran ( Bandung: Alfabeta, 2014), hal. 20.
Moh. Yamin, Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan.(Yogyakarta : Diva Press,2009) hal. 30.
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalampenyelenggaraan Pendidikan.(Jakarta : Prenada Media, 2004), hal. 32
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid : Esai-Esai Agama,Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung : Mizan, 2001), hal. 122.
Trilling, Bernie and Charles Fadel , 21 Century skills : Learning for Life in Our Times (San Fransisco  : John Wiley & Sons, Inc. ossey-Bass, 2009)
Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum ( Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2013), hal. 70.
Ditjen dikti depdiknas, Tanya jawab Seputar unit dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi(Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, 2004), hal 24
Sudjana S, Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif (Bandung : Production, 2005), hal 30.
Moh.Yamin Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan.(Yogyakarta : Diva Press , 2009, hal. 34.
Moh.Yamin Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan.(Yogyakarta : Diva Press , 2009) hal. 153.




.

  


[1] Nana Syaodiq Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktik, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002) hal. 61.
[2] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomer 20 tahun 2003 pasal 1.
[3] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomer 20 tahun 2003 pasal 19
[4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat , (Jakarta; Gramedia, 2002), hlm. 779
[5] Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu ,( Yogyakarta: Rakesarasin,2001),hlm.177
[6] Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), hlm. 157-158.
[7] Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), hlm. 157-158.
[8] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid : Esai-Esai Agama,Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung : Mizan, 2001), hal. 122.
[9] Trilling, Bernie and Charles Fadel , 21 Century skills : Learning for Life in Our Times (San Fransisco  : John Wiley & Sons, Inc. ossey-Bass, 2009)
[10] Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum ( Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2013), hal. 70.
[11] Ditjen dikti depdiknas, Tanya jawab Seputar unit dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi(Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, 2004), hal 24
[12] Sudjana S, Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif (Bandung : Production, 2005), hal 30.
[13] ibid
[14] Syaiful, Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran ( Bandung: Alfabeta, 2014), hal. 20.
[15] Syaifudin Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung : Alfa Beta, 2014), hal. 9.
[16] C . Asriningsih, Belajar dan Pembelajaran ( Jakarta : Rineka CIpta,2012) hal 5.
[17] Yunus Abidin, Desain Sistem Pembelajaran : Dalam Konteks Kurikulum 2013, (Bandung : Refika Aditama, 2014), hal 23.
[18] Banned R.E  Gitomer, Education Assesment in the 21st century, (London: Springer, 2009) hal. 10
[19] Deni Hadiana, “Penilaian Hasil Belajar untuk Siswa Sekolah Dasar”, dalam jurnal Pusat Penilaian Pendidikan, Vol 21, No.1(April 2015) hal.15
[20] ibid
[21] ibid
[22] Yunus Abidin, Desain Siste Pembelajaran : Dalam Konteks Kurikulum 2013, (Bandung : Refika Aditama, 2014), hal 23.
[23] Permendikbud nomer 66 tahun 2013.
[24] Yunus Abidin, Desain Sistem Pembelajaran : Dalam Konteks Kurikulum 2013. (Bandung : Refika Aditama, 2014) hal.79.

Posting Komentar

0 Komentar