SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU DALAM ISLAM
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Dr. H. Sangkot Sirait, M.Ag
Disusun oleh :
Masrur Ridwan
NIM . 17204011106
Kelas B
PROGRAM MAGISTER
PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KAIJAGA
YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang
menaruh perhatian tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Dalam Al-Qur’an dan Hadist akan banyak kita
temukan kajian tentang anjuran-anjuran untuk menacari dan memperkaya ilmu
pengetahuan. Dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 122 terdapat anjuran bahwa tidak
sepatutnya semua orang untuk pergi berperang melainkan sebagian juga
diperintahkan untuk mencari ilmu. Juga dalam hadist yang memerintahkan untuk
menuntut ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat yang dalam bahasa modern
dikenal dengan life long education atau pendidikan seumur hidup.
Selain perintah untuk mencari ilmu pengetahuan, Islam juga meninggikan derajat orang-orang yang berilmu, ini bisa kita temukan dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadilah ayat 11 :
“ ... niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat….”[1].
Sesungguhnya manusia dituntut untuk memiliki, mencari dan
memperluas ilmu pengetahuan, karena Nabi Adam sebagai manusia pertama kali yang
diciptakan oleh Allah juga dibekali dengan pengetahuan tentang benda-benda di
bumi. Selanjutnya Allah juga memerintahkan manusia untuk mencari ilmu
pengetahuan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Untuk mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan
adanya upaya aktif dari manusia. Ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad berisi perintah untuk membaca. Walaupun Nabi Muhammad
belum bisa membaca, namun Allah memerintahkannya untuk membaca secara
berulang-ulang hingga menjadikannya bisa.
Adanya anjuran-anjuran untuk mencari ilmu mendorong para umat
Islam terdahulu untuk mencari, mengkaji dan memperluas ilmu hingga memunculkan
para tokoh-tokoh besar dalam bidangnya masing-masing dan membuat Islam berjaya
serta mampu menjadi mercusuar peradaban dunia. perkembangan ilmu dalam Islam
perlu kita pelajari kembali agar umat Islam sekarang mampu menumbuhkan minat
yang tinggi terhadap ilmu sebagaimana yang pernah dilakukan oleh umat-umat
terdahulu
Maka dari itu makalah ini sengaja kami buat untuk membahas
tentang sejarah perkembangan ilmu dalam Islam. Pembuatan makalah ini juga
sebagai pemenuhan tugas mata kuliah filsafat ilmu tentang topik-topik epistemologi
jurusan pendidikan agama Islam pasca sarjana fakultas ilmu tarbiyah dan
keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Islam terhadap ilmu ?
2. Bagaimana perkembangan ilmu di dunia Islam ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pandangan Islam terhadap ilmu
2. Untuk mengetahui perkembangan ilmu di dunia Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Ilmu dalam Islam
Islam adalah
agama yang memposisikan ilmu sebagai suatu yang sangat penting. Nabi Muhammad
Saw sebagai seorang Rasul yang membawa Islam pada abad ke-6 telah menganjurkan
untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan mengembangkannya. Beberapa sabda beliau
diantaranya:
“menuntut
ilmu diwajibkan atas seorang muslim”, dan “carilah ilmu dari sejak bayi sampai
ke liang lahat”.
Dari sejak
awal, Islam mengakui dua jenis keilmuan sekaligus; ilmu agama dan ilmu alam.
Kedua jenis ilmu itu dikategorikan sebagai pengetahuan yang ilmiah dan
dikembangkan melalui metode yang ilmiah pula. Hal ini tentu berbeda dengan yang
terjadi di Barat, dimana pengetahuan dibagi kedalam dua istilah teknis yaitu science
dan knowledge. Istilah yang
pertama diperuntukkan bagi bidang fisik atau empiris. Sementara istilah yang
kedua diperuntukkan bagi bidang nonfisik. [2]
Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang dapat
dikategorikan ilmu, sementara sisanya seperti ilmu agama tidak bisa
dikategorikan ilmu.
Wan Daud menjelaskan perkataan ‘ilm berasal dari kata ‘ain-lam-mim’ yang
diambil dari kata ‘alamah yaitu
tanda, penunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal.
Atas dasar inilah sejak dulu umat Islam
menganggap ilmu pengetahuan itu berarti Al-Qur’an; syariat;
Sunnah;Islam;iman;ilmu spiritual, hikmah dan ma’rifah, sains dan pendidikan kesemuanya menghimpun hakikat ilmu.[3]
Deskripsi diatas juga dapat didukung
bahwa ayat-ayat Tuhan terdiri atas dua hal yaitu ayat-ayat yang bersifat
linguistik, verbal, dan menggunakan bahasa insani yakni Al-Qur’an dan ayat-ayat
yang bersifat non verbal yang berupa gejala alam.[4]
Adapun konsekuensi dari definisi diatas adalah Islam tidak mengenal dikotomi
ilmu; yang satu diakui dan lainnya tidak diakui. Yang logis-empiris
dikategorikan ilmiah sedangkan yang berdasarkan wahyu tidak dikategorikan
ilmiah.[5]
Imam Al Raghib al-Afshani berpendapat bahwa ilmu adalah
mengetahui sesuatu dengan hakikatnya. Ia terbagi menjadi dua yaitu mengetahui
inti sesuatu itu ( oleh ahli logika dinamakan tashawur) dan kedua
mengetahui hubungan sesuatu dengan sesuatu (
oleh ahli logika dinamakan tashawur) [6]
. dalam hal ini, seluruh pengetahuan tentang sesuatu yang tidak diketahui,
jenis apapun ia dan dalam bidang apapun ia hingga hakikatnya diketahui dengan
jelas oleh manusia, maka ia masuk dalam lingkup ilmu yang disebutkan dalam
Al-Qur’an. Dalam khazanah pemikiran Islam, yang dikenal hanya klasifikasi ilmu
bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.[7]
Ibnu Khaldun dalam Muqadimahnya mngklasfikasi ilmu
menjadi dua bagian, yakni : ilmu thabi’iy (alami) dan ilmu Naqliy
(melalui perantara wahyu). Lebih lanjut dijelaskan bahwa ilmu alami adalah ilmu
yang bisa diperoleh manusia secara langsung dengan mendayagunakan akalnya. Yang
termasuk dalam ilmu ini adalah filsafat, mantiq,logika. Sementara itu, ilmu naqliy
tidak bisa diperoleh manusia karena keterbatasannya dan hanya bisa didapatkan
dengan perantara wahyu. Yang termasuk dalam kategori ini adalah Al-Qur’an,hadist.[8]
Terkait
dengan ilmu alami, metodenya menggunakan
metode-metode ilmiah yang hasilnya adalah tidak pasti atau belum tentu benar
misalnya fisika, kimia, biologi. Ilmu naqli hasilnya adalah pasti benar
baik untuk penginderaan ataupun yang abstrak sepanjang informasi
melatarbelakanginya benar. Misalnya Al-Qur’an sebagai informasi adalah
kebenaran yang valid maka informasi yang ada di dalamnya adalah suatu kebenaran
meskipun tidak terindera seperti malaikat, surga dan neraka.
Jadi, Islam
meletakkan peran dan fungsi ilmu sesuai dengan proporsinya. Ilmu dengan
pengertian sains merupakan suatu aktivitas untuk berkesimpulan bahwa Tuhan itu
ada, namun untuk berkesimpulan tentang siapa dan bagaimana sifat-sifat-Nya ,
sains tidak dapat menjangkaunya. Selanjutnya, untuk megetahui keberadaan Tuhan diperlukan
ilmu naqliy yaitu Al-Qur’an. Dalam Islam setiap penemuan ilmiah pasti
selaras dengan fungsi dan tugas manusia sebagai hamba Allah Swt sehingga tidak
akan mungkin muncul produk sains dan teknologi yang akan mengeliminir fungsi
dan peran manusia tersebut.
B. Periodisasi perkembangan Ilmu dalam Islam
Agar memberikan kemudahan dan tidak
terjadi percampuradukan dalam sejarah, maka diperlukan adanya periodisasi
sejarah. Periodisasi dapat bermanfaat untuk mengenal ciri-ciri pada
masing-masing periode dan zaman sehingga memudahkan kita dalam memahami
sejarah. Menurut Harun Nasution, periode perkembangan Islam dikelompokkan ke
dalam tiga masa, yaitu: masa klasik, masa pertengahan dan masa modern.[9]
1.
Periode Klasik
Periode ini berlangsung dari tahun
650-1250 Masehi. Dimulai dengan periode peletakan pondasi peradaban oleh Nabi Muhammad
saw yang kemudian diteruskan oleh Khullafaur rasyidin dan dikembangkan
oleh dinasti Bani Umayyah, Abbasyah dan Ummayah II.
Sebelum Islam hadir di Mekkah,
telah ada peradaban-peradaban yang menghiasi dunia ini. Yunani dengan Ilmu
pengetahuannya, Byzantium dengan arsitekturnya, serta Persi dengan administrasi
dan sastranya.[10]
Sementara itu bangsa Arab dikenal dengan “kaum Jahili”. Dimana suku Quraish
sebagai penduduk Mekah hanya memiliki 17 orang pandai menulis dan di Mdinah
hanya memiliki 11 orang yang pandai membaca. Kondisi tersebut menyebabkan
bangsa Arab sedikit sekali mengenal imu pengetahuan dan hidup dalam kerusakan
moral. Raja-raja berlaku aniaya, perpecahan dimana-mana.
Oleh kehendak Allah, maka diutuslah
seorang nabi yang bernama Muhammad yang pada akhirnya mampu merubah bangsa arab
dari bangsa yang terbelakang menjadi bangsa yang unggul. Dalam upayanya, Nabi
Muhammad menaruh perhatian yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Adapun
dasar-dasar yang menjadi landasan beliau adalah :
a.
Menjadikan wahyu pertama sebagai
modal awal. Wahyu pertama yang diterima Rasul berbunyi bacalah. Perintah untuk
membaca ini bisa diartikan membaca buku, memahami ataupun membaca alam sekitar.[11] Perintah ini pada
hakikatnya adalah tindakan membebaskan manusia dari ketidaktahuan. Membaca dan
memahami merupakan pintu awal bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
b.
Menggunakan potensi hafalan bangsa
Arab yang sangat kuat. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Nabi Muhammad saw
memanfaatkan kuatnya daya ingat bangsa Arab untuk menghafal Al-Qur’an. Hal ini
juga bermanfaat untuk menjaga Al-Qur’an dari kepunahan.
c.
Membuat tradisi mencatat dan
menulis. Semua sahabat yang pandai membaca dan menulis, diangkat menjadi juru
tulis untuk mencatat wahyu. Wahyu tersebut dicatat pada kulit, tulang, pelepah
kurma, dan lain-lain.[12]
Melalui bimbingan Nabi saw, Akhirnya bermunculan tempat-tempat
belajar menulis, membaca dan menghafal Al-Qur’an dan umat Islam menjadi umat
yang memasyaratkan kepandaian baca tulis. Setelah Nabi Muhammad wafat, tonggak
kepemimpinan dilanjutkan oleh Abu Bakar As-Sidiq, Umar bin Khatab, Ustman bin
Affan dan Ali Abi Thalib, keempat tokoh tersebut dikenal dengan kulafaur
rasyidin.
Dalam periode kulafaur rasyidin, perkembangan ilmu
pengetahuan masih didominasi ilmu-ilmu naqliyah yang bersumber pada Al-Qur’an.
Hal ini dapat dipahami ibarat Nabi Muhammad baru saja menebar benih. Dan
benih-benih tersebut baru saja tumbuh. Ilmu-ilmu yang lahir diantaranya adalah
ilmu qira’at yang erat kaitannya dengan membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Ilmu
ini berguna untuk memberikan kemudahan dalam membaca Al-Qur’an karena adanya
bahasa arab yang tidak bersyakal.[13] Selanjutnya dalam rangka pengembangan Al-Qur’an,
munculah ilmu tafsir yang diprakarsai oleh Ali Bin Abi Talib, Abdullah bin
Abbas, dan Abdullah bin Mas’ud. Sementara ilmu hadist belum berkembang
melainkan hanya sebatas pengetahuan saja. Adapun ilmu lain yang berkembang pada
masa kulafaur rasyidin adalah ilmu nahwu, Khat Al-Qur’an dan ilmu fiqih.[14]
Berdasarkan paparan diatas, dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa
Nabi Muhammad dan Khullafau ar-Rasyidin lebih terkonsen pada ilmu memahami Al-Qur’an.
Seteleh era kepemimpinan Khullafau ar-Rasyidin, era kepemimpinan
berpindah pada Dinasti Umayyah. Dinasti ini memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia
Islam. ekspansi Islam menyebabkan terjadinya kontak antara Islam dengan
kebudayaan Barat, atau tegasnya dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat
di Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia. Salah satu upaya dinasti Ummayah
dalam mengembangkan Islam dan juga pengetahuan adalah dengan memindahkan
ibukota dari madinah ke Damaskus (Suriah).[15] Dimana kota tersebut
merupakan kota yang kaya akan peninggalan kebudayaan maju sebelumnya.
Para raja dinasti Ummayah juga memegang peranan penting dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Khalid bin Yazid yang merupakan raja dan cucu
Muawiyyah sangat tertarik pada ilmu kimia dan ilmu kedokteran. Ia menyediakan sejumlah
harta dan memerintahkan sarjana Yunani yang bermukim di Mesir untuk
menerjemahkan buku-buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa Arab.[16] Al Walid bin Abdul Malik
memberikan perhatian kepada bidang kedokteran. Umar bin Abdul Aziz meresmikan
pembukuan hadist. Abdul Malik bin Marwan meresmikan bahasa Arab sebagai bahasa
resmi Negara yang menjadikan banyak orang menmpelajari bahasa arab dan
memunculkan ilmu qowaid dan ilmu lainnya.
Setelah kepemimpinan dinasti Ummayah berakhir,
tongkat kepemimpinan diteruskan oleh dinasti Abbasyah. Gerakan membangun ilmu
secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja’far al-Mansur setelah ia
mendirikan kota bagdad dan menjadikannya sebagai kota Negara. Ia menarik banyak
ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad.[17]
Di masa Bani Abbas inilah
perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani memuncak terutama di
zaman Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan Al-Ma’mun (813-833 M). Buku-buku ilmu
pengetahuan dan filsafat didatangkan dari Bizantium dan kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira
satu abad. Bait Al-Hikmah, yang didirikan Al-Ma’mun, bukan hanya merupakan
pusat penterjemahan tetapi juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara
cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu
kedokteran, matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, dan sejarah di
samping filsafat.[18]
Kegiatan penerjemahan
yang dilakukan dengan giat menyebabkan mereka dapat menguasai warisan
intelektual dari tiga jenis kebudayaam yaitu Yunani, Persia dan India yang pada
akhirnya kaum muslimin mampu menguasai segala aspek ilmu pengetahuan baik ilmu
agama, filsafat dan ilmu sains.
Maka kemudian muncul
beberapa ilmuwan muslim terkenal dan menjadi kebanggaan dunia Islam seperti;
Al-Fazari (Abad VII) sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun
Astrolabe (alat yang dahulu dipakai untuk mengukur tinggi bintang-bintang dan
sebagainya; Al-Fargani (di Eropa dikenal dengan sebutan Al-Fragnus) adalah
pengarang ringkasan tentang ilmu astronomi; Dalam bidang optika, Abu Ali
Al-Hasan Ibn Al-Haytham (Abad X) terkenal sebagai orang yang menentang pendapat
bahwa mata yang mengirim cahaya kepada benda yang dilihat. Menurutnya, bendalah
yang mengirim cahaya ke mata dan karena menerima cahaya itu, mata bisa melihat
benda yang bersangkutan.[19]
Di zaman ini pula lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari,
Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al-
Huzail, Al-Nazzam, dan Al-Zuba’i dalam bidang teologi; Dzunnun Al-Mishri, Abu
Yazid Al-Bustami dan Al- Hallaj dalam mistisisme atau tasawwuf; Al- Kindi, Al-
Farabi, Ibn Sina dan Ibnu Miskawih dalam filsafat.
Secara singkat, perkembangan ilmu
pada dinasti Abbasyah mencakup ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an dan ilmu aqli yang
mencakup kedokteran, matematika, astronomi, dan kimia. Pada masa ini pula ragam
pengetahuan disusun secara sistematis berkat pembelajaran ilmu dari Yunani.
Berkat perpaduan antara agama dengan ilmu aqli, pada masa ini Islam mencapai
titik kejayaan dan mendapatkan sebutan masa keemasan Islam yang berlangsung
pada kurun waktu 900-1100 Masehi.[20]
Masa selanjutnya adalah masa
peerintahan dinasti Ummayah II yang berpusat di Andalusia (Spanyol) dan beribu
kota di Cordoba. Bidang-bidang ilmu yang berkembang pada era ini adalah fiqih,
hadist, tafsir, ilmu kalam, ilmu sejarah, tata bahasa Arab dan filsafat. Adapun
tokoh-tokoh besar yang muncul pada dinasti ini adalah Ibn Rusyd, Ibnu Khaldun,
Ibnu Bajjah.
Prestasi besar yang dicapai era ini
adalah pembuatan istana Al-Hamra, penataan kota yang dilengkapi dengan system
pengairan dan penerangan lampu yang disaat yang sama kota-kota di Eropa masih
dalam keadaan jalan yang becek dan gelap.[21] Dari sinilah muncul
ketertarikan sarjana barat untuk belajar ilmu pengetahuan sekaligus merupakan
jembatan kebudayaan Islam ke Eropa.
Kegemaran penelitian untuk memenuhi
kegelisahan pemikiran yang menandai kemajuan dan kebudayaan Islam hanya sampai
abad ke-12. Setelah melewati perang salib perkembangan ilmu Pengetahuan mulai
bergeser ke-Eropa yang mengalami masa renaissance atau kebangkitan
kembali. Sementara itu, ilmu pengetahuan Islam secara perlahan mengalami
kemunduran.[22]
2.
Periode
Pertengahan
Pada masa pertengahan, yakni antara tahun 1250-1800 M adalah fase
kemunduran dari intelektual umat Islam, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat
Islam, sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman
dengan ilmu, dunia dengan akhirat.[23] Di zaman ini,
desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat yang berakibat pada hilangnya khilafah secara formil. Islam tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh semua umat sebagai
lambang persatuan dan ini berlaku sampai kerajaan Usmani mengangkat khalifah
baru di Istanbul di abad ke-16.[24]
Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian
juga antara Arab dan Persia bertambah nyata. Dunia Islam terbagi dua, bagian
Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara
dengan Mesir sebagai pusat; dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia
Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat. Kebudayaan Persia
mengambil bentuk internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan
Arab.
Di samping itu, pengaruh
tarekat-tarekat bertambah mendalam dan bertambah meluas di dunia Islam.
Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu ijtihad telah
tertutup diterima secara umum di zaman ini. Perhatian pada ilmu-ilmu
pengetahuan sedikit sekali. Tetapi sebaliknya, Islam mendapat pemeluk-pemeluk
baru di daerah-daerah yang selama ini belum pernah dimasuki Islam.[25]
Pada periode pertengahan
ini, terdapat masa tiga kerajaan Besar (1500-1800 M). Tiga kerajaan besar yang
dimaksud adalah kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan
Kerajaan Mughal di India. Tahun 1500-1700 M dianggap sebagai fase kemajuan II
dalam sejarah peradaban Islam.[26] Literatur dalam bahasa Turki di zaman inilah mulai muncul. Di masa-masa
sebelumnya, pengarang-pengarang Turki menulis dalam bahasa Persia. Di zaman
Sultan Salim I dan Sultan Sulaiman dikenal dua pengarang; Fuzuli dan Baki, yang
kemudian disusul di abad ke-18 oleh Nedim dan Syeikh Ghalib. Dalam bidang
arsitek, sultan-sultan mendirikan istana-istana, masjid-masjid, benteng-benteng
dan sebagainya.
Di India, bahasa Urdu
juga meningkat menjadi bahasa literatur dan menggantikan bahasa Persia yang
sebelumnya dipakai di kalangan istana sultan-sultan di Delhi. Para penulis
besar pertama dalam bahasa ini adalah Mazhar, Sauda, Dard, dan Mir (abad 18).
Sayangnya, perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat kurang sekali
dibandingkan dengan masa-masa kejayaan Islam I. Kemajuan Islam II ini lebih
ditekankan pada kemajuan dalam aspek politik.[27]
Tahun 1700-1800 M disebut
sebagai fase kemunduran II kerajaan Islam. Pada tahun-tahun ini kondisi
kekuatan militer dan politik umat Islam menurun. Di bidang ekonomi, juga
terpuruk akibat hilangnya monopoli dagang antara Timur dan Barat. Ilmu
pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh
suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistis,
sehingga dunia Islam dalam keadaan mundur dan statis. Sementara, pada masa itu
Barat mengalami kebangkitan. Penetrasi Barat, yang kekuatannya bertambah besar,
ke dunia Islam yang didudukinya kian lama bertambah mendalam. Akhirnya, di
tahun 1978 M, Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam yang
terpenting. Jatuhnya pusat Islam ini ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam
akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul
peradaban yang lebih tinggi dari peradaban Islam.[28]
3.
Periode Modern
Periode
Modern (1800 M - dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam.
Jatuhnya Mesir ke tangan Barat mengilhami kebangkitan.
Raja-raja dan
pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan
umat Islam kembali. Pada era ini, sebagaimana
diungkapkan Al-Faruqi, kondisi umat Islam sangat tidak menggembirakan sekalipun
dalam kuantitas besar umat Islam berdomisili di tanah yang subur dengan sumber
daya alam yang melimpah.[29] Bangsa Eropa melakukan hegemoni ekonomi atas bangsa-bangsa Timur dan
Islam. Dan bahkan pada abad 19, Eropa secara terang-terangan menjadikan dirinya
sebagai imperialisme dunia karena telah didukung oleh kekuatan politik,
kekuasaan dan militer.
Setelah umat Islam
menyadari ketertinggalannya, maka kemudian muncul upaya dekonstruksi oleh para
pemikir Islam untuk membangkitkan ketertiduran umat Islam. Etika politik
kebangsaan pun dibangun seiring dengan pembangunan dan reformasi teologi.
Upaya-upaya itu antara lain mengajak umat Islam untuk melakukan shifting
paradigm (loncatan paradigma) dengan memunculkan keberanian menafsirkan
ajaran-ajaran dasar agama dengan interpretasi-interpretasi baru yang lebih
segar dan progresif sesuai perkembangan zaman. Ini dimaksudkan agar nilai luhur
Islam tidak usang oleh dinamika perubahan yang berjalan begitu cepat. Dari
sini, bermunculan ide-ide keagamaan baru seperti tajdid (pembaruan),
revivalisme (puritanisme, kembali ke ajaran dasar al-Qur’an dan al-Sunnah), dan
bahkan muncul juga sekularisme yang
kontroversial.
Pada periode ini,
muncul banyak para pemikir Islam yang handal. Mereka menjadi pioner pembaharuan
dalam Islam. Ajaran Islam dirasionalisasikan dan difahami dalam konteks ke-kini-an dan
kemodernan. Islam difahami tidak hanya difahami dari sudut pandang lokal, tetapi juga
dalam perspektif universal dan kontekstual. Sejarah
mencatat munculnya para pemikir Islam
di dunia Arab, seperti di Arab, Mesir, dan Turki. Demikian juga di India dan Pakistan.
Tidak ketinggalan di Indonesia dan dunia Islam lainnya.
Sejarah juga mencatat, para pemikir dan tokoh
pembaharuan Islam yang sangat popular.
Pemikiran dan ide pembaharuannya terus dipelajari. Bahkan pengaruhnya dapat dirasakan
sampai sekarang. Di dunia Arab, dikenal tokoh Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridla, Mustafa Kemal Attaturk, Hassan Hanafi,
Muhammad Syahrur, Abdul halim Mahmud,
dan sebagainya. Di India dan Pakistan, dikenal tokoh pembaharu seperti Muhammad
Iqbal, Ali Jinah, Kalam Azad, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, dan lain-lain. Demikian juga
yang terjadi di Indonesia. Tokoh pembaharuan yang cukup popular, dapat
disebutkan diantaranya : Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir Sadjali, Abdurrahman
Wahid, Amin Rais, dan sebagainya.
Pada tahun 1977, Syed Muhammad Naquib Al-Attas
mengembangkan dan meresmikan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan yang sebelumnya
digagas oleh Sayyid Husein Nasr pada tahun 1960. Dalam islamisasi ilmu tidak
bisa dilakukan hanya dengan menyandingkan antara ilmu barat dengan ilmu-ilmu
keislaman, diperlukan adanya orientasi ontologis, epistemologis dan ontologis[30]
Ilmu akan tetap bernafaskan sekuler dan “liar”
jika tidak didasarkan pada pandangan dunia yang utuh dan tunggal atau tauhid.
Begitu pula sebuah epistemologis akan tetap bersifat eksploratif dan merusak
jika tidak didasarkan atas ontologi yag islami. Meski demikian, ilmu yang telah
islami tidak banyak berarti jika dipegang oleh
orang yang tidak bermoral dan tidak bertanggung jawab. Karena itu perlu
dibenahi pada aspek aksiologinya. Demngan demikian islamisasi ilmu berarti
merombak paradigm keilmuannya sendiri yang terdiri dari aspek ontologis,
epistemologis dan membenahi moralitas manusianya sebagai pengguna sebuah hasil
keilmuan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Islam
meletakkan peran dan fungsi ilmu sesuai dengan proporsinya. Ilmu dengan
pengertian sains merupakan suatu aktivitas untuk berkesimpulan bahwa Tuhan itu
ada, Jadi, Islam meletakkan peran dan fungsi ilmu sesuai dengan proporsinya.
Ilmu dengan pengertian sains merupakan suatu aktivitas untuk berkesimpulan
bahwa Tuhan itu ada, sementara untuk mengetahui tentang siapa dan bagaimana
sifatnya diperlukan ilmu naqli. seehingga setiap penemuan ilmiah pasti
selaras dengan fungsi dan tugas manusia sebagai hamba Allah Swt dan tidak akan
mungkin muncul produk sains dan teknologi yang akan mengeliminir fungsi dan
peran manusia tersebut.
Secara garis
besar, perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam dibagi menjadi tiga
fase: 1) Periode Klasik (650-1250 M), di mana ilmu pengetahuan mengalami
kemajuan yang sangat pesat, muncul karya-karya besar dan temuan-temuan sains
yang belum pernah ada sebelumnya. 2) Periode Pertengahan (1250-1800 M), gairah
intelektual umat Islam terkikis dan sangat merosot. Tidak ada lagi buah karya
atau penemuan sains yang dihasilkan oleh ilmuwan muslim. Perhatian terhadap
ilmu pengetahuan sangat menurun. 3) Periode Modern (1800 M – Sekarang), umat
Islam mulai menyadari keterpurukan dan ketertinggalannya utamanya dalam bidang
sains dan teknologi. Spirit ini melahirkan beberapa model gerakan pembaharuan
dalam interpretasi dan implementasi terhadap ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, (Semarang : Toha Putra,2000)
Husaini, Ardian, Filsafat Ilmu: Perspektif Barat
dan Islam . Jakarta : Gema Insani, 2014.
IKAPI,
Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya : Bina Ilmu, 1987.
Ismail
Raj’i Al-Faruqi, Tawhid, terjemahan Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka,
1982.
M
Shihab, Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas
Pelbagai Persoalan Umat ,Bandung: Mizan, 2013.
Maman, Malik, Pengantar
Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga,2005,
Nasution,
Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Bandung : Mizan,1994.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Qardawi, Yusuf, Al-Qur’an
Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Gema Insani, 1998.
Sholeh,, Khudori Filsafat Islam ,
Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2016.
Sudjana
, Eggi, Islam Fungsional,Jakarta : Raja Grafindo, 2008.
Sulaiman, Rusydy, Pengantar
Metodologi Studi Peradaban Islam
Jakarta : Raja Grafindo Persada,2015.
Sulaiman, Umar, Islam Kosmopolitan, Yogyakarta: Freshbook, 2012.
Sunanto,
Musyrifah, Sejarah Islam Klasik,
Jakarta : Kencana, 2003.
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia
Pendekatan Semantik Terhadap Al Qur’an ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:Raja Grafindo Persada,1995.
[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, (Semarang : Toha Putra,2000), hal. 398.
[2] Ardian, Husaini, Filsafat
Ilmu: Perspektif Barat dan Islam ( Jakarta : Gema Insani, 2014), hal. 60.
[3] Wan Mohd.Nor Wan Daud, Konsep
Pengetahuan dalam Islam, (Bandung : Pustaka,1997) hal. 65.
[4] Toshihiko Izutsu, Relasi
Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al Qur’an ( Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1997), hal. 133.
[5] Ardian, Husaini, Filsafat
Ilmu: Perspektif Barat dan Islam …, hal. 66.
[6] Yusuf Qardawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal
dan Ilmu Pengetahuan.( Jakarta : Gema Insani, 1998), hal. 89.
[7] Ardian, Husaini, Filsafat
Ilmu: Perspektif Barat dan Islam …, hal 60.
[8]Eggi Sudjana, Islam Fungsional,(Jakarta
: Raja Grafindo, 2008), hal. 15.
[9]
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya ( Bandung :
Mizan,1994), hal.112.
[10] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Islam Klasik, ( Jakarta : Kencana, 2003), hal 14.
[11] M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 2013), hal. 569-570.
[12] Maman Malik, Pengantar Sejarah
Kebudayaan Islam, ( Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga,2005),
hal. 15
[13] Rusydy Sulaiman, Pengantar
Metodologi Studi Peradaban Islam ( Jakarta : Raja Grafindo Persada,2015),
hal. 242
[14] Ibid, hal. 250
[15] Maman A. Malik, Pengantar Sejarah
Kebudayaan Islam…, hal. 75.
[16] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Islam Klasik, …, hal 14.
[17] Ibid, hal. 57.
[20] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Islam Klasik, …, hal 83.
[21] Ibid
[22] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam,( Jakarta:Raja Grafindo Persada,1995), hal. 130.
[30] Khudori Sholeh, Filsafat
Islam ( Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2016), hal. 237.
1 Komentar
Terima kasih kak. Ilmunya bermanfaat
BalasHapus