ALIRAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN ISLAM


.
ALIRAN FILSAFAT ESENSIALISME DAN PERENIALISME 
DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Masrur Ridwan, S.Pd.I
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstract
Essentialism is a conservative educational philosophy which was originally formulated as a critique on progressive trends in schools. They argue that the progressive movement has undermined the standards of intellectual and moral among young people. Education must on the basic of the values that can bring stability to have a value system that is clear and has been tested by time. Essentialism principle requires that education is the foundation of the essential values and nature walks. Essentialism philosophical view about the study should be done with great effort, because the success of the learning activities carried out by someone because of a continuing effort without despair and stopped, because the essentialist view a person's success does not just arise in students.
Keywords :Essentialism, Perenialism, Islamic Education

Abstrak
Esensialisme adalah filsafat pendidikan konservatif yang awalnya dirumuskan sebagai kritik terhadap tren progresif di sekolah. Mereka berpendapat bahwa gerakan progresif telah menggerogoti standar intelektual dan moral di kalangan anak muda. Pendidikan harus pada dasar dari nilai-nilai yang dapat membawa stabilitas untuk memiliki sistem nilai yang jelas dan telah diuji oleh waktu. Prinsip esensialisme mensyaratkan bahwa pendidikan adalah fondasi dari nilai-nilai esensial dan perjalanan alam. Pandangan filosofis esensialisme tentang penelitian harus dilakukan dengan usaha keras, karena keberhasilan kegiatan pembelajaran dilakukan oleh seseorang karena upaya yang terus menerus tanpa putus asa dan berhenti, karena pandangan esensialis kesuksesan seseorang tidak hanya muncul pada siswa.
Kata Kunci : Esensialisme, Perenialisme, Pendidikan Islam
A.    Pendahuluan
Perubahan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Perubahan yang terjadi dalam sendi-sendi kehidupan manusia seperti ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan akan membawa dampak bagi kehidupan manusia sebagai aktor utama kehidupan masyarakat. Terkadang perubahan-perubahan yang terjadi dapat membawa manusia menuju kehidupan yang lebih baik,namun terkadang juga  dapat membawa manusia pada kehidupan yang lebih buruk.
Sebagai akibat dari perubahan akan menghasilkan sesuatu yang bertindak sebagai pengganti dan yang digantikan. Nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang pada kehidupan masa lalu bisa saja tergantikan oleh nilai-nilai baru yang berpotensi menghasilkan ketidakstabilan dan menjadikan manusia kehilangan arah. Tergantikannya nilai-nilai yang telah lalu dengan nilai baru dapat menyebabkan manusia lupa terhadap nilai-nilai luhur di masa lampau.[1]
Filsafat pendidikan adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya.
Pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat modernisasi dapat menjadikan pendidikan itu kehilangan arah. Berhubung dengan itu pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih dan mempunyai tata yang jelas dan yang telah truji oleh waktu.
Maka dari itu diperlukan formulasi yang tepat dari bidang pendidikan untuk membimbing manusia agar tanggap terhadap terhadap perubahan tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur masyarakat yang pernah tumbuh subur pada masa lalu. Dalam hal ini, filsafat pendidikan dengan beragam alirannya dapat menjadi salah satu alternatif untuk memecahkan permasalahan diatas. Salah satu aliran filsafat  pendidikan yang menaruh perhatian pada perubahan dan nilai-nilai luhur masa lalu adalah esensialisme dan perenialisme.
Maka dari itu, penting bagi kita untuk membahas lebih dalam tentang kedua aliran filsafat tersebut baik dari segi latar belakang, ontologi dan pengaruhnya terhadap ruang lingkup pendidikan.
B. Sejarah Esensialisme dan Perenialisme
1. Sejarah Esensialisme.
Secara istilah esensialisme berasal dari kata “esensi” dan “isme”. Oleh para esensialis istilah yang pertama diartikan sebagai ciri tetap yang ada pada setiap sesuatu yang ada. Ia adalah sesuatu yang bersifat konstan, tidak berubah, kekal dan akan selalu abadi.[2] Adapun nilai yang dimaksud disini adalah nilai yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad yang lalu, yaitu zaman Renaisans yang berlangsung pada tahun 1300 – 1700 masehi.[3]. Sementara isme adalah adalah aliran kepercayaan.[4]
Pada zaman Renaisans terdapat para tokoh-tokoh yang memiliki pandangan terhadap pendidikan. Tokoh yang pertama adalah Johan Amos Cornenius yang berpandangan bahwa segala sesuatu itu perlu diajarkan memlalui indra, karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah Johan Friederich Herbart. Dia perpandangan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menyesuaikan jiwa manusia dengan hukum kesusilaan. Tokoh ketiga adalah William T. Harris yang berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan satuan spiritual.[5]
Jadi esensialisme pendidikan adalah aliran filsafat pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai luhur yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas yang bersumber pada kebudayaan dan filsafat yang turun temurun sejak zaman Renaisans.
Pendukung dari aliran esensialisme adalah idelaisme dan realisme. Keduanya aliran ini bertemu sebagai pendukung dengan melepaskan sifatnya yang utama pada diri masing-masing aliran. Esensialisme berusaha untuk mengambil yang terbaik dari idealisme dan realisme. Hal ini menjadikan esensialisme sebagai aliran yang lebih kaya dibandingkan jika hanya mengambil posisi yang sepihak dari salah satu aliran. Dengan demikian, esensialisme berusaha untuk mensintesakan ide-ide abad pertengahan yang bersifat dogmatis-religius dengan ide-ide Renaisans yang sekuler.[6]
Esensialisme muncul sebagai respon terhadap kebudayaan modern yang cenderung menyimpang dari jalan lurus yang telah ditanamkan oleh kebudayaan-kebudayaan sebelumya. Alasan lain munculnya aliran ini adalah adanya  otoritas gereja yang bersifat dogmatis.[7] Maka dari itu esensialisme mencoba merumuskan sistematika yang tepat untuk menghantarkan manusia agar tetap pada koridor nilai-nilai lama yang telah teruji dan mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan.
Esensialisme membentuk arus utama pemikiran pendidikan popular disebagian banyak Negara termasuk USA. Ia adalah pemikiran konservatif dan karenanya lebih memperhatikan fungsi sekolah dalam mengalihkan fakta-fakta dan kebenaran yang telah teruji daripada memperhatikan inovasi dan embel-embel kependidikan. Juru bicara kalangan esensialis yang berpengaruh diantaranya adalah Admiral G.Rickover yang menyesalkan kurangnya akal pikir yang terkembangkan di Amerika. Ia merekomendasikan pengadopsian system pendidikan tipe bangsa Eropaa, semisal system pendidikan Belanda dan Rusia sehingga generasi muda Amerika akan mempunyai daya serap yang baik terhadap hal-hal dasariah bagi lulusan sekolah menengah dan akan secara memadai siap bergumul dengan rangkaian kajian teknologis dan professional yang mendalam dan menantang.[8]
Peluncuran Sputink pada tahun 1957 menambah bobot propaganda kalangan esensialis karena banyak bangsa Amerika menafsirkan kesuksesan Uni Soviet ini sebagai indikasi rendahnya pendidikan bangsa Amerika. Sebagai akibatnya, akhir lima puluhan dan awal enam puluhan berlangsung program revisi massif kurikulum. Seruan ulang untuk kembali ke materi-materi dasariah mencuat juga pada decade tujuh puluhan.[9]
2.      Sejarah PerenialismeKetika pendidikan progresifisme dinilai telah membuat pendidikan menjadi semakin jauh dari visi hidup yang sebenarnya, maka munculah aliran-alran baru yang berusaha untuk memperbaiki pendidikan yang dijalankan oleh progresivisme. Salah satu aliran yang muncul sebagai respon terhadap progresivisme adalah adalah perenialisme. Perenialisme hadir sebagai suatu reaksi dan solusi terhadap pendidikan progresif dan atas terjadinya suatu keadaan yang mereka sebut krisis kebudayaan dalam kehidupan masyarakat modern.[10]
Aliran Perenialisme ini mempercayai adanya nilai-nilai, norma-norma yang bersifat abadi dalam kehidupan ini. Atas dasar itu, perenialis memandang pola perkembangan kebudayaan sepanjang zaman adalah sebagi pengulangan dari apa yang ada sebelumnya sehingga perenialisme sering disebut dengan tradisionalisme.[11]
Teori tentang perenialisme telah muncul pada abad pertengahan, namun pegakuan secara resmi terjadi sekitar tahun 1930-an.  Istilah perenialisme berasal dari bahasa latin yang akar katanya adalah perenis atau perennial yang berarti tumbuh terus dari waktu ke waktu atau abadi. Pendukung filsafat perenialis adalah Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler. Hutchins. Perenialis menggunakan prinsip-prinsip yang dikemukakan Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquino.[12]
Pandangan-pandangan Plato dan Aristoteles mewakili peradaban Yunani Kuno serta ajaran Thomas Aquino dari abad pertengahan. Filsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philosophia Perenis. Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13.[13]
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali kemasa lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.[14]
Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat, kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme yang theologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.[15]
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme. Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.
Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti dan memaham'i kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi.[16]
C. Ontologi Esensialisme dan Perenialisme
1.      Ontologi Esensialisme
Sifat yang menonjol dari ontologi  esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh suatu tatanan yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada cela pula. Dengan demikian, bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada. Tujuan umum aliran esensialisme adalah untuk membentuk pribadi manusia agar selamat dunia dan akhirat.[17]
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, esensialisme muncul dari idelaisme dan realisme. Idelaisme berisi pandangan-pandangan yang bersifat spiritual. Idealism obyektif memiliki pandangan kosmis yang lebih optimis dibandingkan dengan realisme obyektif. Manusia adalah mikrokosmis yang ketika bisa memahami dirinya, maka ia akan  terus bergerak keluar dan memahami dunia luar sebagai makrokosmos. Ketika manusia menyadari realita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos maka rasionya akan berkembang baik dan mampu memproduksi secara tepat pengetahuannya dalam benda-benda,ilmu alam, biologi, sosial, dan agama.[18]
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomena ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Tuhan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasannya. Manusia akan dapat mencapai kebenaran yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.[19]
Idealisme merupakan suatu ide atau gagasan manusia sebagai makhluk berpikir dan semua ide yang dihasilkan di uji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang ada dibumi dan di langit. Dengan menyelidiki ide-ide dan gagasannya manusia dapat mencapai kebenaran yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.
Realisme berisi pandangan-pandangan tentang alam dan dunia fisik.[20] Ilmu-ilmu yang muncul dari realisme ini adalah fisika, bilogi, kimia, geografi. Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme obyektif karena memiliki pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat manusia di dalamnya.
Meskipun kaum idealis dan realis berbeda pandangan filsafatnya, mereka tetap sepaham dalam hal hakikat manusia dan pengembangan diri. Manusia harus mengembangkan kebebasannya dan ia memerlukan bimbingan orang dewasa untuk membantu dirinya, sebelum dia sendiri dapat mendisiplinkan dirinya. Manusia dalam memilih suatu kebenaran untuk dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya mengandung makna pendidikan bahwa generasi muda perlu belajar untuk mengembangkan diri setinggi-tingginya dan kesejahteraan sosial.[21]

2.      Ontologi Perenialisme
Perenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa realita itu ada dimana saja dan sama disetiap waktu. Inilah jaminan yang dapat dipenuhi dengan jalan mengerti wujud harmoni bentuk-bentuk realita, meskipun tersembunyi dalam suatu wujud materi atau peristiwa-peristiwa yang berubah, ataupun di dalam ide-ide yang berkembang. Perenialisme menekankan arti penting akal budi, nalar dan karya-karya besar pemikir masa lalu.[22]
Perenialisme menganggap bahwa manusia adalah hewan rasional.[23] Secara umum, manusia memiliki kesamaan dengan hewan. Hewan membutuhkan makan dan minum, begitu juga manusia. Namun manusia memiliki daya berpikir yang darinya dapat memahami dan mengerti kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi.
D.    Pandangan Esensalisme dan Perenialisme Terhadap Pendidikan
1.      Pandangan Esensialisme Terhadap Pendidikan
Bagi kalangan esensialis, pendidikan mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pembelajaran keterampilan-keterampilan dasariah dan materi yang dengan penguasaan penuh akan menyiapkan peserta didik untuk berfungsi sebagai anggota masyarakat yang berperadaban. Sekolah dasar, menurut kalangan esensialis harus memusatkan perhatian pada kurikulum yang dirancang untuk  menanamkan keterampilan-keterampilan dasar yang memberi sumbangan pada kemampuan baca tulis dan penguasaan hitungan aritmatik. Adapun hal poko dasar yang perlu ditekankan adalah 3 R yaitu reading, writing arithmetic (membaca, menulis dan berhitung).[24]
Setelah pendidikan dasar berfungsi untuk melatih kemampuan-kemampuan dasar subyek didik, pada sekolah lanjutan pertama bertujuan pada pengembangan kompetensi dalam sejarah, matematika, sains, bahasa inggris, sastra, dan bahasa-bahasa asing. Program kurikuler kalangan esensialis ini menyiratkan bahwa hal-hal non esensial pendidikan semisal berdansa dan basket bukanlah menjadi tanggung jawab sekolah. Sekolah harus bertujuan pada pengajaran hala inti dan mendasar dari proses belajar bagi semua peserta didik.[25]
Dalam hal pembelajaran, asensialisme berusaha untuk menghidupkan peran peserta didik dan pendidik. Disamping pembelajaran perlu disentralkan kepada peserta didik, namun pendidik juga harus juga ikut berperan di dalamnya.  Hal ini bertujuan untuk agar tidak terjadi pengabaian tugas fungsionalitas pendidik sebagai orang yang mengatur dan mengarahkan proses pembelajaran itu sendiri.
Para esensialis mendeskripsikan belajar sebagai proses melatih daya jiwa yang secara potensial sudah ada seperti daya pikir, daya ingat dan perasaan. Belajar bertujuan untuk mengisi subyek agar mengerti berbagai realitas, nilai-nilai dan kebenaran baik sebagai warisan sosial maupun makrokosmis. Warisan masa lampu dapat dijadikan sebagai dasar interpretasi bagi realitas yang ada sekarang.
Proses belajar adalah penyesuaian diri individu dengan lingkungan dalam pola stimulus dan respon. Dal hal ini, tugas guru adalah sebagai agen untuk memperkuat pembentukan kebiasaan dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan tersebut. Maka dari itu, belajar mesti didasarkan pada disiplin dan kerja keras yang ketat. Proses belajar akan berlangsung baik dengan adanya dedikasi tinggi untuk meraih tujuan yang lebih jauh.[26]
Karena belajar adalah penyesuaian individu dengan lingkungannya, maka dari itu, aliran ini menempatkan pengalaman subyek didik kedalam lingkungan masyarakatnya, sehingga ketika mereka menyelesaikan pendidikannya, mereka memiliki kesiapan mental dalam menghadapi berbagai problem kehidupannya.
Untuk mewujudkan tujuan diatas, diperlukan metode tradisional yaitu mental discipline method yaitu suatu metode yang mengutamakan latihan-latihan berpikir logis, teratur, ajek, sistematis, menyeluruh menuju latihan penarikan kesimpulan yang baik dan komprehensif.   Banyak hal yang perlu dipelajari dengan metode-metode yang keras dan kaku seperti penghafalan dan drill.[27] Kebutuhan-kebutuhan jangka pendek anak tidaklah sepenting tujuan-tujuan yang lebih berjangka panjang. Usaha serius ini lebih penting dibandingkan ketertarikan, sungguhpun ketertatikan telah terbukti berguna sebagai kekuatan pendorong. Bagi banyak peserta didik, minat berkembang setelah mereka melakukan sejumlah usaha yang diperlukan untuk memahami suatu bidang materi kajian.
Para peserta didik, seperti halnya orang-orang dewasa, mudah dialihkan dari tugas-tugas yang menuntun usaha keras. Karena itu, mereka perlu mendisiplinkan diri untuk memusatkan perhatian pada tugas yang ada di depan mata. Sungguhpun memang banyak peserta didik tidak memiliki kemampuan ini dan membutuhkan bantuan guru dengan bijaksana menyuguhkan konteks lingkungan yang akan membantu mereka siap melakukan tugas berat.
Kalangan esensialis berpendapat bahwa guru bukanlah orang yang mengikuti keinginan murid atau seorang pemandu. Kiranya, guru adalah orang yang mengetahui apa yang dibutuhkan peserta didiknya untuk diketahui dan sudah sedemikian kenal dengan tatanan logis materi ajar dan cara penyampaiannya.[28]
Esensialisme melihat kedudukan peserta didik  dalam pembelajaran adalah sebagai individu yang pasif dan tunduk. Oleh karena itu, peserta didik sebagai orang yang belum dewasa, memerlukan bimbingan dan kontrol orang yang lebih dewasa untuk mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia.
Disamping itu, guru sebagai wakil dari komunitas orang dewasa berada dalam posisi yang  menuntut rasa hormat. Jika rasa hormat tidak datang, guru memiliki hak dan tanggung jawab untuk menata tatanan kedisiplinan yang akan membawa kea rah suasana yang kondusif untuk proses belajar yang tertib.[29]
2.      Pandangan Perenialisme Terhadap Pendidikan
Kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan, serta membahayakan yang ditimbulkan akibat terjadinya krisis di berbagai dimensi kehidupan manusia termasuk pendidikan, perlu adanya sesuatu yang mendatangkan kestabilan dan perlu adanya kepastian tujuan pendidikan serta kestabilan dalam perilaku pendidik.
Dalam pemikiran itu, untuk mengatasi dan mengembalikan keadaan krisis yang terjadi sekarang ini, jalan keluarnya tidak lain adalah kembali kepada kebudayaan masa lampau yang ideal serta teruji ketangguhannya. Untuk itu, pendidikan sekarang harus banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan masa lampau yang ideal serta teruji dan tangguh. Dengan kata lain, perenialisme memiliki pandangan yang bertolak terhadap modernistic yang telah menjauh dari tradisi (kebiasaan-kebiasaan yang telah teruji ketangguhannya) dan terlalu mengedepankan logika dan rasio modernistic daripada sumber pengetahuan lainnya serta terlalu memandang sesuatu berdasarkan materi.[30]
Jadi jelaslah jika dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan kepada masa lampau, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang.
            Menurut perenialisme, tuntutan tertinggi dalam belajar adalah latihan disiplin mental. Maka, teori dan praktik pendidikan haruslah mengarah pada tuntutan tersebut. Adapun teori dasar dalam belajar menurut perenialisme antara lain mental disiplin, rasionalitas dan asas kemerdekaan, learning to reason (belajar untuk berpikir), belajar sebagai persiapan hidup dan learning through teaching (belajar melalui pengajaran).[31]
Tugas-tugas berat yang diberikan kepada peserta didik bisa jadi tidak disukai,  namun hal tersebut sesungguhnya sangat bermanfaat. Pendisiplinan mental ruangan kelas yang dipaksakan dari luar membantu anak menginternalisasi daya kemauan yang nantinya akan diperlukan sewaktu-waktu ia menghadapi tugas-tugas sulit dalam kehidupan dewasa dimana taka da lagi ‘pemaksa’ yang mendorongnya untuk merampungkan tugas-tugas yang tidak menyenangkan.
Menurut Perenialisme latihan dan pembinaan berpikir adalah salah satu kewajiban tertinggi dalam belajar, atau keutamaan dalam proses belajar. Karena program pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir. Sebagai makhluk, manusia memiliki keistimewaan dibandingkan dengan makhluk yang lain karena memiliki sifat rasionalitas.[32] Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Dan makna kemerdekaan pendidikan hendaknya membantu manusia untuk dirinya sendiri yang membedakannya dengan makhluk lain. fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan itu yaitu aktualisasi sebagai makhluk rasional yang bersifat merdeka.
            Terkait tentang belajar untuk berpikir, Perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis, dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Belajar untuk mampu berpikir bukanlah semata – mata tujuan kebajikan moral dan kebajikan intelektual dalam rangka aktualitas sebagai filosofis. Belajar untuk berpikir berarti pula guna memenuhi fungsi practical philosophy baik etika, sosial politik, ilmu dan seni.
Hal utama pembelajaran dalam perenialisme terletak pada aktivitas-aktivitas yang di desain untuk mendisiplinkan akal pikir. Latihan mental yang sulit termasuk membaca, menulis, drill, menghafal dan menghitung adalah hal penting dalam pelatihan dan pendisiplinan intelek. Belajar menalar juga merupakan hal yang penting, dank arena itu latihan-latihan dalam tata bahasa, logika dan retorika juga dianggap sebagai aktivitas-aktivitas yang berguna.[33]
Dalam pandangan Perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi – potensi self discovery, dan ia melakukan otoritas moral atas murid – muridnya, karena ia seorang profesional yang memiliki kualifikasi dan superior dibandingkan dengan murid – muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih. [34]
            Agar belajar dapat efisien dan mencapai sukses haruslah dapat memenuhi kebutuhan umum manusia yang bertaraf tinggi dengan mengingat akan adanya saling mempengaruhi antara belajar karena pengajaran dan belajar karena penemuan. Tujuan pendidik adalah menuntut anak didik kearah kemasakan dengan menggunakan dasar-dasar di atas.
            Bimbingan kearah kemasakan itu dimulai di sekolah dasar yang berfungsi sebagai persiapan dalam memberikan pengetahuan dasar dan latihan dasar. Pendidikan menengah berfungsi untuk lebih meningkatkan peranan pendidikan dasar dengan meningkatkan program pendidikan umum yang berisikan mata pelajaran untuk memperkembangkan penalaran pengetahuan mengenai nilai-nilai utama sepanjang sejarah manusia. Pendidikan tinggi yang ideal harus bersendikan filsafat yang juga menyelenggarakan penelitian yang sesuai dengan fungsinya.
E.     Esensialisme dan Perenialisme dalam Pendidikan Islam di Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah Yogyakarta
Di depan telah dijelaskan bahwa secara mendasar, esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada cela pula. [35] pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak, dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada. Dalam hal ini, Pendidikan Islam memberikan pandangan bahwa prinsip mendasar dari pendidikan Islam adalah untuk mengenal Sang Pencipta dan juga ciptaannNya. Individu darahkan untuk menjadi peserta didik yang beragama, mampu berkomunikasi, memiliki seni kreativas dan berbagai dimensi intelegensi yang disesuaikan dengan diri seorang peserta didik dan diperlukan masyarakat, bangsa dan umat manusia.[36]
Dalam Kurikulum, Esensialisme memiliki kesamaan dengan Perenialisme, yaitu memandang bahwa kurikulum berpusat pada mata pelajaran. Dalam hal ini, ditingkat sekolah dasar misalnya, kurikulum lebih di tekankan pada kemampuan dasar yaitu kemampuan menulis, membaca , dan berhitung. Sementara dijenjang sekolah menengah penekanannya sudah diperluas lagi yang mencakup bahasa, sastra dan sebagainya.[37]
Pemberian materi pembelajaran disesuaikan dengan tingkat psikologi dari peserta didik. Apabila pada tingkat dasar materi yang diberikan lebih ditekankan pada penguasaan membaca, menulis dan menghitug, maka dalam tingkat lebih lanjut diperluas dengan penambahan ilmu bahasa dan logika.
Materi yang perlu diajarkan menurut esensialisme diantaranya adalah filsafat, matematika, ilmu pengetahuan sosial, sejarah, bahasa, seni dan sastra. Materi tersebut diperlukan dalam hidup. Dengan dilatih secara disiplin maka peserta didik diharapan mampu mengembangkan pikiran dan sekaligus membuatnya sadar akan dunia fisik sekitarnya.[38]
Dalam Pendidikan Islam, kemampuan dasar menulis, membaca termuat dalam mata pelajaran A-Quran dan Hadist yang memiliki karakteristik menekankan pada kemampuan baca tulis yang baik dan benar. Mata pelajaran tersebut ada di dalam setiap tingkat dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Sementara kemampuan dasar menghitung termuat dalam pelajaran Matematika.
Di pesantren AL-Luqmaniyyah Yogyakarta, ilmu-ilmu membaca tertuang dalam pelajaran Nahwu. Pelajaran ini terdapat dalam semua tingkatan kelas mulai dari Idadi, Jurumiyah, Imrity, dan Alfiyyah.[39]. Meskipun diajarkan pada setipa kelas, namun tingkatan kesulitan materinya berbeda pada tiap tingkatan kelas.
Esensialisme dan perenialisme memandang bahwa materi harus disesuaikan dengan tingkat psikologi peserta didik, maka dari itu sekolah dilaksanakan melalui jenjang dasar dan menengah. Dalam pendidikan Islam di madrasah, pendidikan dasar disebut pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, pendidikan menengah pertama disebut Madrasah Tsanawiyah, dan tingkat menengah atas disebut Madrasah Aliyah. Dalam pesantren tradisional mengenal tingkat I’dadi,Jurumiyah, Imrithy,dan Alfiyah, dan Takhtim.[40]
Dalam hal pembelajaran, esensialisme memandang bahwa proses pembelajaran harus berpusat pada guru (teacher centered), metode yang digunakan dalam proses belejar mengajar lebih tergantung pada inisiatif dan kreativitas pengajar (guru), sehingga dalam hal ini sangat tergantung pada penguasaan guru terhadap metode pendidikan dan juga kemampuan guru dalam menyesusaikan antara berbagai pertimbangan dalam menerapkan suatu metode sehingga bisa berjalan secara efektif.
Dalam kurikulum 2013, paradigma teacher centered ini nampaknya sudah digantikan dengan paradigma student Centerd yaitu pusat pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru, melainkan berpusat pada peserta didik.[41] Namun demikian paradigma teacher centered ini bisa kita temukan di beberapa penyelenggara pendidikan Islam di beberapa pesantren tradisional. Para pengajar biasanya menggunakan metode ceramah, bandongan dan sorogan. Dalam metode bandongan, kiai membaca kitab dan menerjemahkannya untuk kemudian memberikan penjelasan secukupnya. Sementara dalam sorogan, santri diajak kiai memahami isi kandungan kitab secara perlahan-lahan dan detail.[42]
Pola pembelajaran esensialisme dan perenialisme memang akan lebih mudah ditemukan di beberapa pesantren tradisional. [43] hal ini dikarenakan pada beberapa pesantren tradisional masih mempertahankan pola pembelajaran tradisional dan disiplin method.
Di Pesantren AL-Luqmaniyyah Yogyakarta, disiplin method dilakukan dengan menekankan santri untuk tepat waktu pada acara wiridan sebelum sholat isya’. Kegiatan ini di mulai 30 menit setelah sholat magrib sampai sholat isya. Apabila terdapat santri yang terlambat maka wajib untuk menghafalkan kitab dan atau membersihkan bak mandi.[44]  Selain itu, terdapat pula kewajiban santri untuk bangun malam dan menunaikan tahajud pada pukul 03.30 WIB dan setelahnya melakukan wirid sambil menunggu waktu subuh.[45]
Penerapan disiplin method di Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah tersebut sekilas terlihat amat berat, namun dengan adanya metode tersebut dapat melatih sikap disiplin santri, tanggung jawab dan tangguh dalam menghadapi situasi yang lebih berat di kehidupan.
KESIMPULAN
Esensialisme berpandangan bahwa manusia memiliki kedudukan sebagai mikrokosmis yang akan terus berkembang hingga mampu memahami dunia luar sebagai makrokosmos. Perenialisme berpandangan bahwa manusai adalah hewan yang berpikir. Karena sifat berpikir inilah, manusia menjadi memiliki karakteristik berbeda dengan makhluk yang lainnya.
Para esensialis mendeskripsikan belajar sebagai proses melatih daya jiwa yang secara potensial sudah ada seperti daya pikir, daya ingat dan perasaan. Belajar bertujuan untuk mengisi subyek agar mengerti berbagai realitas, nilai-nilai dan kebenaran baik sebagai warisan sosial maupun makrokosmis. Warisan masa lampu dapat dijadikan sebagai dasar interpretasi bagi realitas yang ada sekarang.
Menurut perenialisme, tuntutan tertinggi dalam belajar adalah latihan disiplin mental. Maka, teori dan praktik pendidikan haruslah mengarah pada tuntutan tersebut. Adapun teori dasar dalam belajar menurut perenialisme antara lain mental disiplin, rasionalitas dan asas kemerdekaan, learning to reason (belajar untuk berpikir), belajar sebagai persiapan hidup dan learning through teaching (belajar melalui pengajaran)
Baik esensialisme dan perenialisme menganngap bahwa dalam pembelajaran berpusat pada guru (teacher centered), metode yang digunakan dalam proses belejar mengajar lebih tergantung pada inisiatif dan kreativitas pengajar (guru), sehingga dalam hal ini sangat tergantung pada penguasaan guru terhadap metode pendidikan dan juga kemampuan guru dalam menyesusaikan antara berbagai pertimbangan dalam menerapkan suatu metode sehingga bisa berjalan secara efektif.
Esensialisme dan perenialisme memandang bahwa materi harus disesuaikan dengan tingkat psikologi peserta didik, maka dari itu sekolah dilaksanakan melalui jenjang dasar dan menengah. Dalam pendidikan Islam di madrasah, pendidikan dasar disebut pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, pendidikan menengah pertama disebut Madrasah Tsanawiyah, dan tingkat menengah atas disebut Madrasah Aliyah. Dalam pesantren tradisional mengenal tingkat I’dadi,Jurumiyah, Imrithy,dan Alfiyah, dan Takhtim
Di pesantren AL-Luqmaniyyah Yogyakarta, menerapkan disiplin method dalam kegiatan seari-hari yang dapat dilihat dari kewajiban hadir tepat waktu di masjid tiga piluh menit setelah sholat magrib dan pukul 03.30. tingkat materi disampaikan sesuai dengan tingkatan kelas. Ilmu Nahwu misalnya, meskipun terdapat pada setiap tingkatan kelas, namun pembahasan atau tingkatan materinya berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Hana, Rudi, Perubahan-Perubahan Pendidikan di Pesantren Tradisional  Jurnal Tadris, 2015.
Barnadib, Imam. FIlsafat Pendidikan : Sistem dan Metode. Yogyakarta : Penerbit Andi, 2013.
Gandhi, Wangsa Teguh, Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan,  Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2016.
Jalaludin & Idi, Abdullah Filsafat Pendidikan : Manusia, Filsafat dan Pendidikan,Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997.
Khobir,Abdul. FIlsafat Pendidikan Islam, Pekalongan :  STAIN PRESS, 2009.
Knight George , Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Gama Media, 2007.
Rahim, Husni Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001
Saidah, “Pemikiran esensialisme, Eksistensialisme, Perenialisme, dan Pragmatism dalam Perspektif Pendidikan Islam” Jurnal Al-Asas,2015
Syam, Noor Muhammad, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya : Usaha Nasional, 1986.
Tim Penyusun Pusat Kamus . Kamus Besar Bahasa Indonesia  Jakarta : Balai Pustaka, 2007
Usiono, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2006.
Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2006.




[1] Ghandi, Wangsa Teguh,  Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan,( Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2016), hal. 109.
[2] Gandhi, Wangsa Teguh, Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan, ( Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2016), hal. 159.
[3] Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, ( Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2006),hal. 56.
[4] Tim Penyusun Pusat Kamus . Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta : Balai Pustaka, 2007), hal. 751
[5] WIji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, …hal. 56
[6] Syam, Noor Muhammad, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya : Usaha Nasional, 1986), hal. 262
[7] Ibid, hal. 261.
[8] Knight George , Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Gama Media, 2007), hal 170.
[9] Ibid hal 178.
[10] Gandhi Wangsa Teguh, Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan … hal. 163.
[11] Barnadib, Imam. FIlsafat Pendidikan : Sistem dan Metode.( Yogyakarta : Penerbit Andi, 2013), hal. 13
[12] Jalaludin & Idi, Abdullah Filsafat Pendidikan : Manusia, Filsafat dan Pendidikan( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997),hal. 78.
[13] Ibid
[14] Gandhi Wangsa Teguh, Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan, …, hal. 163.
[15] Barnadib, Imam. FIlsafat Pendidikan : Sistem dan Metode…. hal.50.
[16] Ibid
[17] Jalaludin & Idi, Abdullah Filsafat Pendidikan : Manusia, Filsafat dan Pendidikan( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997),hal. 82.
[18] Ibid ,hal. 84.
[19] Ibid ,hal 82
[20] Barnadib, Imam. FIlsafat Pendidikan : Sistem dan Metode…. hal.39.
[21] Saidah, Pemikiran esensialisme, Eksistensialisme, Perenialisme, dan Pragmatism dalam Perspektif Pendidikan Islam  dalam  Jurnal al-asas,  Vol.III, No 1( April,2015) hal . 169
[22] Knight George , Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Gama Media, 2007), hal 165
[23] Ibid  hal. 169.
[24] Gandhi, Wangsa Teguh, Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan, … hal. 161.

[25] Knight George , Filsafat Pendidikan,…. hal. 179.
[26] Gandhi, Wangsa Teguh, Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan, … hal. 170.

[27] Knight George , Filsafat Pendidikan,… hal. 179.
[28] Ibid.
[29] Ibid  hal 181
[30] Gandhi, Wangsa Teguh, Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan, …, hal. 164.

[31] Khobir,Abdul. Filsafat Pendidikan Islam.( Pekalongan :  STAIN PRESS, 2009), hal.66
[32] Barnadib, Imam. FIlsafat Pendidikan : Sistem dan Metode…. hal.89
[33] Knight George , Filsafat Pendidikan,… hal. 169.
[34] Barnadib, Imam. FIlsafat Pendidikan : Sistem dan Metode.( Yogyakarta : Penerbit Andi, 2013), hal.101.
[35] Jalaludin & Idi, Abdullah Filsafat Pendidikan : Manusia, Filsafat dan Pendidikan( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997),hal. 82.

[36] Lamp.-SK-Dirjen-No.2676-2013.KI-KD-PAI-2013-rivised16Juni2014, hal.7
[37] Usiono, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2006), hal. 153.
[38] Gandi, Wangsa Teguh, Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan Islam….. hal 70
[39] Wawancara dengan Ustadz M.Khalid selaku  Pengajar di Ponpes Al-Luqmaniyyah pada hari Sabtu 26 Mei 2018 pukul 13.00 WIB
[40] Rudi, Al-Hana, Perubahan-Perubahan Pendidikan di Pesantren Tradisional  dalam Jurnal Tadris, Vol.VII, No. 2. ( Desember 2012) hal  198.
[41] Lamp.-SK-Dirjen-No.2676-2013.KI-KD-PAI-2013-rivised16Juni2014, hal
[42] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001),hal. 151.
[43] Rudi, Al-Hana, Perubahan-Perubahan Pendidikan di Pesantren Tradisional  dalam Jurnal Tadris, Vol.VII, No. 2. ( Desember 2012) hal  200.
[44] Wawancara dengan Khirul Anam selaku  santri Al-Luqmaniyyah pada hari jumat 25 Mei 2018 pukul 14.00 WIB.
[45] Ibid.

Posting Komentar

0 Komentar